Rabu, 19 Juni 2013

Petani Kapan Bisa Kaya ?


Oleh : Komandan Gubrak

BBM naik, kebutuhan lain juga kemungkinan akan naik. Begitu kira kira kekhawatiran yang kini di rasakan sebagian masyarakat kita. Belum naik saja harga harga bahan pangan sudah merangkak, bagaimana jika nanti BBM benar benar di putuskan untuk naik ?.

Kekhawatiran yang tentu saja masuk akal. Apalagi bagi masyarakat yang secara ekonomi berada di bawah garis kemiskinan. Kenaikan harga pangan, barang dan jasa tentu akan membuat mereka lebih menderita lagi. Begitu juga dengan masyarakat yang masuk dalam kategori hampir miskin. Efek kenaikan harga di atas sudah pasti akan melemahkan daya beli mereka. Dan jika tidak di tangani dengan baik bakal berakibat pada makin besarnya jumlah warga miskin di Indonesia.

Kenaikan harga BBM atau pengurangan subsidi memang kebijakan yang dilematis. Ibarat simalakama, di makan bikin penyakit, tidak di makan perut melilit. Di naikkan, efeknya luar biasa bagi daya tahan masyarakat. Tidak di naikkan, beban subsidi yang di tanggung negara akan semakin berat. Tahun ini saja subsidi energi kita sudah di atas 200 trilyun pertahun. Dan tahun tahun selanjutnya di pastikan akan terus mengalami pembengkakan akibat pertumbuhan jumlah kendaraan dan faktor harga minyak dunia yang juga terus meningkat.

Bagi negara negara yang memiliki cadangan minyak berlebih, kenaikan harga minyak tentu bukan masalah besar. Kenaikan harga minyak mentah bagi mereka justru merupakan berkah tersendiri. Karena dari situ pundi pundi pemasukan negara bisa terus di tingkatkan. Namun berbeda halnya jika itu menyangkut negara negara yang kebutuhan minyak dalam negerinya lebih besar dari cadangan yang di miliki. Kenaikan harga minyak berarti malapetaka. Itu yang kini menimpa bangsa Indonesia.


KEBIJAKAN ENERGI YANG SALAH

Jika dari awal para pemangku negeri ini serius menyelesaikan masalah energi, tentu keadaannya tidak separah ini. Inflasi tinggi, daya beli melemah, kemiskinan merajalela, APBN dalam bahaya, dan yang lebih menyedihkan lagi adalah masalah stabilitas politik dan keamanan. Momen kenaikan harga BBM seringkali hanya mengundang protes masyarakat, memicu kekerasan dan salah salah menjadi momentum bagi kejatuhan sebuah pemerintahan.

Sejak awal tahun 2000an Indonesia bukan lagi menyandang status eksportir minyak, tapi importir minyak. Dan itu setiap tahunnya mengalami kenaikan secara signifikan. Sayangnya, respons pemerintah menghadapi krisis semacam ini sangat lambat. Padahal kita memiliki energi alternatif lain yang bisa di kembangkan tanpa harus di pusingkan dengan minimnya cadangan minyak. Kita memiliki cadangan gas yang di perkirakan mencapai 90 milyar barel dan mampu mensuplai kebutuhan energi dalam negeri dalam kurun waktu 18 tahun. Kita juga punya cadangan batubara 12 milyar ton dan menjadi negara penghasil batubara terbesar ke 13 di dunia. Dan apabila kita tidak mau memanfaatkan sumber energi yang berasal dari perut bumipun, kita masih memiliki cadangan energi lain yang melimpah lagi terbaharui. Ada energi panas bumi yang potensinya mencapai 40% dari total energi panas bumi yang ada di dunia. Energi angin, matahari, energi yang berasal dari tumbuh tumbuhan. Jadi, tidak ada yang perlu di khawatirkan bukan ?.

Masalahnya tinggal bagaimana pemerintah mengolah dan mengkonversikan saja. Ambil contoh konversi minyak tanah ke gas, walaupun awalnya masyarakat masih sanksi, toh kebijakan itu hingga detik ini cukup efektif. Minimal kita tidak perlu mengimpor gas seperti halnya impor minyak. Seharusnya ini juga bisa di lakukan. Pemerintah bisa memaksa pabrikan kendaraan untuk membuat kendaraan yang berbahan bakar gas atau berbahan apa saja yang tersedia melimpah di negara ini. Daripada harus di pusingkan dengan masalah kenaikan BBM yang efeknya memukul perekonomian masyarakat.


BBM NAIK, SEMBAKO NAIK

Dahulu kala, jumlah petani Indonesia adalah yang terbesar di antara profesi lain. Sekitar 60%. Namun seiring laju pertumbuhan sektor industri, jumlah petani kita terus menerus tergerus. Dan sekarang tinggal 35%. Inipun SDMnya memprihatinkan karena sebagian besar petani kita adalah mereka yang umurnya rata rata di atas 40 tahun. Sangat jarang kita temui anak anak muda yang mau menjadi petani. Belum lagi masalah tehnologi pertanian kita yang seolah tidak ada peningkatan signifikan. Padahal di sisi lain, kebutuhan akan pangan setiap saat terus meningkat.

Sejak jaman nenek moyang, negeri ini sudah menjadi negara agraris. Tanah yang subur, air yang melimpah dan sumber daya manusia yang cukup. Tapi nyatanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, kita selalu saja mengalami masalah. Ibarat ayam mati di lumbung padi. Negeri yang subur ini dalam banyak kasus terpaksa harus mengimpor bahan makanan dari luar negeri. Alasannya macam macam. Serangan hama, pengairan yang sulit, gagal panen dan sebagainya.

Tragis sekali.  Kelangkaan bahan makanan, solusinya adalah dengan cara mengimpor dari negara lain. Pemerintah seolah sudah cukup merasa nyaman jika barang tersedia di pasaran dengan harga murah pula. Tapi di sisi lain tidak pernah berfikir bahwa kebijakan itu sesungguhnya telah mematikan pelan pelan industri pertanian kita. Kenapa ?

Pertama, impor pangan menghancurkan semangat bertani masyarakat kita. Mereka yang semula gembira karena hasil jerih payahnya di hargai tinggi terpaksa harus gigit karena ketika panen produk mereka di jatuhkan oleh barang impor. Dan ini bukan hanya sekali dua kali. Tapi berkali kali. Pemerintah lebih mementingkan kepentingan kaum mampu daripada memberi kesempatan pada kaum petani menikmati keuntungannya. Kalau begini caranya, sangat wajar jika semakin hari semakin berkurang warga masyarakat yang menjadi petani.

Kedua, impor pangan secara tidak langsung melestarikan urbanisasi. Rendahnya penghasilan sebagai petani tentu saja akan memaksa masyarakat pedesaan yang notabene petani untuk mencari lahan pekerjaan lain yang di anggap mampu menaikkan taraf hidupnya. Dan tujuan utama mereka adalah tempat tempat dengan sumber ekonomi lebih layak. Dan salah satunya adalah perkotaan.

Ketiga, impor pangan mematikan kreatifitas di bidang pertanian. Pepatah mengatakan, kesulitan membuat otak kita jalan dan kemudahan hanya menghasilkan kemandegan. Sulitnya pasokan air sudah tentu mendorong kita untuk mencari cara bagaimana air tersedia. Minimnya hasil pertanian akan mendorong manusia untuk kreatif membuat riset untuk menciptakan sistem bercocok tanam yang bisa memberi hasil maksimal. Dan masih banyak lagi.

Kaitannya dengan kenaikkan harga BBM yang kemungkinan besar akan memicu kenaikkan harga pangan. Tentu kita harus berfikir obyektif. Logika yang mudah saja, semahal mahalnya pangan, jika itu di hasilkan oleh para petani kita, bukankah itu akan meningkatkan kesejahteraan petani kita juga ?. Kalau bertani adalah pekerjaan yang menggiurkan, bukankah secara otomatis akan mengurangi urbanisasi ?. Jika di desa, perekonomiannya terkatrol akibat moncernya hasil produk pertanian, bukankah itu berarti pembangunan akan lebih merata ?.

Di negara yang bertitel negara industri, mereka yang bekerja di bidang industrilah yang menikmati kemapanan. Di negara yang bertitel negara jasa, pekerja jasa adalah kelas masyarakat yang bertaraf hidup layak. Bahkan di tempat yang bertitel kawasan judi, para penyelenggara perjuadianlah yang makmur. Tapi kenapa di negeri yang agraris, justru petaninya yang paling miskin ??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar