Jumat, 30 Agustus 2013

Penantang Itu Bernama Assad


Oleh : Komandan Gubrak

Umurnya baru 48 tahun. Usia yang relatif cukup muda bagi seorang pemimpin negara. Tapi prestasi yang di torehkan Assad dalam upaya melindungi negaranya dari anasir anasir dukungan asing tak di ragukan lagi. Banyak orang termasuk saya mengira setelah pecah revolusi Suriah, nasib Assad tak akan jauh beda dengan Muammar Khadafi, Mubarak, Ben Ali dan lain sebagainya. Apalagi seperti kita ketahui, revolusi Arab yang selama ini berlangsung nyatanya juga melibatkan kekuatan kekuatan besar dunia. Maka, apalah artinya Assad di banding dengan desakan publik yang luar biasa besar.

Namun rupanya saya harus sedikit menahan nafas menyaksikan kealotan putra Hafidz Assad ini. Kendati baru beberapa tahun semenjak ia mengambil alih tongkat kepemimpinan Suriah dari mendiang ayahnya, kemampuan dan kematangan Assad dalam menghadapi badai revolusi patut di acungi jempol. Memang, pemberontakan yang terjadi di Suriah tidak melibatkan secara langsung tentara reguler negara negara barat layaknya di Libya, akan tetapi keberadaan para jendral barat di belakang pemberontak di mana perannya adalah pelatih strategi sekaligus pemasok senjata tentu tak bisa di anggap enteng begitu saja.

Mari kita kembalikan ingatan pada peristiwa tahun 80an di mana Afghanistan mengalami pergolakan luar biasa. Di sana CIA memiliki peran penting dalam mengendalikan apa yang di sebut sebagai pemberontakan terhadap dominasi Soviet. CIA terlibat dalam pembinaan, pelatihan dan pengiriman jihadis jihadis asing ke Afghanistan. Operasi pinjam tangan ini nyatanya berakhir dengan kesuksesan dan menghasilkan kerugian tak terkira bagi Uni Soviet.

Apa yang di lakukan barat dan sekutunya pada Suriah kurang lebih sama dengan apa yang mereka lakukan di Afghanistan dulu. Mereka mengkoordinir, melatih dan mempersenjatai pemberontak untuk melawan rezim Bashar Assad. Yang membedakan adalah hasil akhir. Jika strategi yang di lakukan barat di Afghanistan berakhir dengan jatuhnya rezim tanpa perlu tentara amerika melibatkan diri secara langsung, nasib berbeda terjadi di Suriah. Kendati sudah mendapatkan dukungan penuh dari negara barat dan sekutu Arabnya, hingga lewat tempo 2,5 tahun kubu pemberontak tak juga mampu menjungkalkan Assad. Yang terjadi justru sebaliknya, Bashar Assad secara perlahan mulai menemukan celah menuju kemenangan.

Satu persatu daerah daerah yang dahulu di kuasai oposisi berhasil di rebut tentara Suriah. Di Provinsi Damaskus, tentara Suriah dengan gagahnya mengontrol hampir seluruh wilayah. Begitu juga dengan daerah yang berbatasan dengan Lebanon, Israel dan Yordania, balatentara Assad menampilkan kegagahannya dengan menutup akses yang bisa di manfaatkan oleh oposisi dalam menggalang dukungan dari luar. Di wilayah tengah, terutama di Homs, sebuah kawasan yang oleh pemberontak di juluki kota revolusi, setapak demi setapak mulai di kuasai tentara Assad. Terakhir distrik Khaldiyah yang merupakan benteng utama pemberontak jatuh pula ke tangan kubu pemerintah.

Ini rupanya yang membuat barat dan sekutunya mulai frustasi. Bukan saja Assad sukses memperkuat posisinya, tapi kubu koalisi oposisipun makin hari makin tak bisa di andalkan. Maka tak heran jika akhirnya Amerika Serikat sebagai dalang utama kerusuhan di Suriah memutuskan untuk membuka opsi intervensi militer.

Dalih yang di pakai adalah kasus tuduhan penggunaan senjata kimia oleh tentara Suriah. Akan tetapi menurut penulis, ini hanya alasan belaka. Faktanya, jauh hari sebelum terjadinya kasus itu, Amerika Serikat sudah mempersiapkan diri untuk berperang secara terbuka dengan Assad. Amerika secara kontinyu mulai mengirim kontingen militer ke negara negara tetangga Suriah. Di Yordania, keberadaan ribuan tentara Amerika tak terbantahkan lagi. Belakangan juga berhembus kabar Amerika telah mengirim kapal perangnya menuju laut Mediterania. Tak ketinggalan pemerintah Inggris, yang walaupun parlemennya menolak opsi militer ke Suriah, namun pemimpin negara itu tetap nekad menempatkan armada udaranya di pulau Siprus.

Bagi pemimpin lain, mungkin provokasi barat ini akan membuat mereka ciut nyali. Apalagi seperti yang kita tahu, hampir semua medan tempur di mana tentara Amerika terlibat, selalu berakhir dengan jatuhnya rezim. Kita bisa saksikan bagaimana nasib Saddam Husein yang dahulu di anggap paling kuat di Timur Tengah. Nyatanya invasi Amerika dan sekutunya tak bisa membuatnya bertahan. Begitu pula dengan Muammar Khadafi di Libya.

Penulis yakin, Bashar sangat paham resiko yang akan ia tanggung jika Amerika benar benar menyerang Suriah. Dari segi apapun, tentara Suriah bukan tandingan pasukan paman Sam. Walaupun nantinya Suriah, Iran dan China terjun langsung bahu membahu membela Assad, rasanya belum tentu mampu melawan kedigdayaan tentara sekutu.

Lalu apa yang membuat Assad seolah tak menunjukkan rasa gentar sedikitpun terhadap ancaman invasi itu ?. Bahkan dengan entengnya dia sesumbar akan membuat Suriah menjadi Vietnam bagi Amerika. Di kesempatan lain Assad seperti di kutip Islam Times menyemangati para petinggi seniornya dengan kalimat 'sejak lama kita menunggu musuh sejati Suriah'. Retorika ini menunjukkan bahwa Assad tidak bisa di gertak dan di takut takuti.

Orang bijak mengatakan, perang yang tanpa tujuan tidak akan menghasilkan kemenangan. Di sini Bashar secara cerdas memanfaatkan situasi. Sebesar apapun invasi yang akan di lakukan Amerika nanti, jika di lihat dari segi tujuan, maka Amerika nyaris tak memiliki tujuan pasti. Dalam bahasa sederhana, Amerika sendiri masih galau mau di apakan Suriah jika nantinya Bashar jatuh.

Peta politik Suriah menunjukkan bahwa kekuatan dominan di kubu pemberontak justru berada di tangan kelompok kelompok garis keras yang selama ini getol memusuhi Amerika. Maka kalaupun Amerika berhasil menggusur Assad, ia akan di hadapkan pada sebuah masalah yang tak kalah peliknya. Yaitu jatuhnya Suriah ke tangan orang orang fundamentalis. Jika ini terjadi, maka itu sama saja Amerika melahirkan lawan baru bagi Israel yang tak kalah garangnya dengan militan Hizbullah.

Itu kalau Amerika berhasil menghabisi Assad. Kalau Amerika gagal mengeksekusi Assad, problem lain yang tak kalah pelik juga akan menimpa Amerika. Kegagalan Amerika mengintervensi langsung Suriah bisa jadi akan memicu gelombang perlawanan lain terhadap hegemoni Amerika di Timur Tengah.

Kartu truf lain yang di miliki Assad adalah situasi regional yang cukup menguntungkan dia. Faktanya Assad di kelilingi oleh negara negara dengan dominasi syiah yang cukup kuat. Mereka adalah sekutu potensial yang sewaktu waktu bisa di ajak Assad untuk berperang di pihaknya. Jalinan ini nyatanya sudah lama di rajut Assad. Konon ribuan gerilyawan Syiah baik dari Lebanon maupun Irak dan Iran secara aktif ikut terlibat membantu Assad. Invasi Amerika ke Suriah, mau tidak mau akan berakibat perang merembet kemana mana. Tidak hanya di Suriah, tapi juga di Irak, Lebanon dan tentu saja Israel. Lihat saja statemen Hizbullah baru baru ini. Jika Amerika menyerang Suriah, maka Hizbullah bertekad untuk melakukan perang habis habisan dengan Israel.

Dus, agaknya Amerika Serikat perlu berfikir ulang jika ingin bertanding melawan Assad. Setidaknya negeri paman sam harus memperhitungkan untung ruginya jika perang terbuka terjadi.

Senin, 26 Agustus 2013

Menakar Kekuatan Berkah



Oleh : Hafidz Atsani

"Insya Allah Berkah menang" kataku pada seorang kawan.

"Wahh...ibu ibu Muslimat bakalan seneng" jawabnya dengan nada ceria.

"Kenapa sih, Khofifah di idolakan banget sama Muslimat ?" tanyaku lagi.

"Khan ibunya para Muslimat...".

Percakapan yang singkat. Namun mensyiratkan adanya semangat luar biasa menggebu. Apa yang di nyatakan ibu dua anak itu sepertinya mewakili hati para wanita di Jawa Timur terutama ibu ibu Muslimat. Ormas wanita terbesar di Indonesia ini mengklaim memiliki tak kurang dari 7 juta anggota di Jawa Timur. Sebuah angka yang sangat fantastis. Jumlah itu paling tidak seperempat dari jumlah pemilih Jawa Timur. Tentu, suara sebanyak itu tidak bisa di jamin 100% total mendukung Berkah. Seperti yang di katakan Lily Wahid, bahwa tidak semua Muslimat mendukung Berkah. Akan tetapi melihat fakta yang ada, penulis memprediksikan bahwa minimal Berkah akan mampu mengais suara dari kelompok ini setidaknya 3/4 atau hampir 5 juta jiwa.

Sejauh pengamatan penulis, dari sekian kelompok yang berdiri di belakang pasangan Berkah, Muslimat menjadi semacam bemper terdepan yang sangat menentukan. Mereka yang paling banyak tampil di setiap event event yang melibatkan sang ketua umum Muslimat. Tidak hanya ketika kampanye di gelar, akan tetapi sudah jauh hari. Bahkan ketika Berkah tidak di loloskan KPUD Jatim, lagi lagi yang paling gigih membela hingga rela berpanas panasan di depan kantor KPUD adalah kaum ibu Muslimat.

Jika kemudian pasangan Berkah memenangkan Pilgub Jawa Timur, maka semua pihak harus mengakui bahwa Muslimatlah yang paling berdarah darah. Loyalitas mereka kepada sang ketua umum tak di ragukan lagi. Ini kontras sekali dengan situasi yang ada di barisan partai pendukung Berkah semisal PKB. Bukan hanya ketika Berkah di nyatakan tidak lolos, akan tetapi pasca keputusan DKPP yang meloloskan Berkah, suara suara oposan di kubu PKB terus terdengar. KH Aziz Mansyur misalnya, pasca keputusan DKPP langsung menggelar konpress bahwa dia bersama jajaran Dewan Syuro PKB kukuh mendukung pasangan Karsa. Kita juga sempat mendengar beberapa DPC PKB Jatim bermanuver di media dengan menyatakan dukungannya terhadap Berkah. Kendati akhirnya di bantah oleh pengurus teras PKB lain, akan tetapi aroma perpecahan di tubuh PKB tetap tak bisa di sembunyikan lagi.

Muslimat menurut pengamatan kami jauh lebih solid dan tulus mendukung Berkah. Ini mesin yang paling mungkin bisa di gerakkan tanpa harus bertele tele dengan deal politik di belakangnya. Penulis sempat bertanya tanya dalam hati, terbuat dari apakah Khofifah ini ?. Hingga ia memiliki kemampuan mengorganisir kekuatan massa dalam jumlah besar.

Testimoni mantan ketua MK Mahfudz MD barangkali layak untuk di jadikan referensi. Kredibilitas, integritas dan loyalitas Khofifah tidak di ragukan lagi. Sosok kelahiran tahun 1965 ini di kenal bersih dari isu isu korupsi. Baik ketika menjabat sebagai menteri Pemberdayaan Perempuan di era Gus Dur maupun ketika memegang jabatan prestisius di Senayan sebagai wakil ketua DPR. Loyalitasnya pada NU tak di ragukan lagi. Hingga ia di percaya memimpin Muslimat selama tiga periode.

Selain itu Khofifah juga di kenal gigih dan kukuh dalam melawan apa yang di sebut politik kartel. Pengalamannya di tahun 2008, ketika harus kalah secara dramatis melawan Karsa sama sekali tak membuatnya surut untuk maju kembali di periode selanjutnya. Proses pencalonannya kali inipun tidak di lalui dengan cara mudah. Ia harus melewati upaya penjegalan dan penghancuran secara sistematis. Dan ketika ia di loloskan DKPP, mantan politisi PPP dan PKB ini di hadapkan pada situasi di mana ia hanya memiliki waktu singkat untuk mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa dirinya adalah bagian dari proses menuju Jatim 1.

Seorang kawan yang merupakan anggota team di kubu Karsa mengatakan kepada saya, "Khofifah boleh saja lolos, tapi waktu yang tersedia terlalu sempit. Tetap saja ia akan kalah, karena kompetitor lain sudah sejak dulu mensosialisasikan diri di depan masyarakat Jawa Timur".

Ucapan kawan saya ini mungkin ada benarnya. Sebelum di nyatakan gagal oleh KPUDpun popularitas Berkah masih kalah jauh di banding incumben. Kemudian setelah di nyatakan tidak lolos, sebagian publik yang merupakan pendukung Berkah perlahan melupakannya. Ini terlihat dari survey Tampoll Gubrak yang tidak menyertakan Berkah sebagai kandidat. Hasilnya 46% responden menyatakan akan memilih Karsa. Dua saingan lain yaitu Bangsa (Jempol) memperoleh 8%, sementara Eggy - Sihat hanya mendapat dukungan kurang dari 1%, sisanya belum menentukan.

Sedikitnya waktu ini bukan satu satunya masalah. Masalah lain tentu saja keterbatasan dana. Kita bisa melihat di lapangan, bagaimana pasangan Berkah ini sosialisasinya masih kalah dengan rivalnya. Serangan darat berupa pemasangan alat peraga kampanye, Berkah kalah jauh dari Karsa. Begitu juga dengan iklan di media massa. Durasi iklan Berkah masih berada di bawah rivalnya. Ibarat pepatah, orang lain sudah bicara program, Berkah masih berkutat pada masalah pengenalan diri di mata pemilih.

Satu satunya kemenangan Berkah adalah persepsi media. Sejauh ini pemberitaan media terhadap pasangan yang di usung PKB bersama empat partai gurem lain tampak lebih positif jika di banding dengan pasangan lain. Begitu juga dengan jejaring sosial. Dukungan pengguna jejaring sosial terhadap figur dengan tagline Jatim Berkah ini tampak lebih unggul. Kita bisa melihat angka angka pastinya di situs Politicawave. Sebuah lembaga pemantau jejaring sosial yang akurasinya jauh lebih baik dari lembaga survey lain.

Variabel kemenangan seorang calon memang sangat kompleks. Penggunaan dana yang besar, iklan yang jor joran serta banyaknya dukungan partai politik tidak serta merta menjadikan pasangan kandidat akan memenangkan pertarungan. Begitu juga dengan durasi waktu sosialisasi yang sempit. Kita bisa belajar dari kasus DKI di mana situasi yang melingkupi Berkah kurang lebih sama. Jokowi - Ahok di daftarkan oleh PDI Perjuangan dan Gerindra di menit menit terakhir. Dari segi sosialisasi, pasangan ini kalah dengan yang lain. Alat peraga yang di pasang di sudut sudut Jakartapun bisa di hitung dengan jari. Begitu juga iklan di media elektronik semisal televisi. Seperti halnya Berkah, satu satunya kemenangan Jokowi adalah persepsi media.

Lantas, apakah nasib Berkah akan sebaik Jokowi - Ahok ?

Dalam berbagai kesempatan, penulis menyatakan bahwa salah satu tanda kemenangan kandidat adalah keberadaan voluntair. Sukarelawan yang dengan tulus memberikan apa saja demi memenangkan jagoannya tanpa di bayar. Siapa yang memiliki dukarelawan paling militan, dia yang kemungkinan besar menang.

Ini yang terjadi pada Jokowi - Ahok. Secara kualitatif, pasangan ini lebih banyak memiliki voluntair. Mereka tidak sekedar memberi dukungan, akan tetapi rela mengeluarkan biaya sendiri untuk ikut mensosialisasikan. Soal pengadaan kostum misalnya, pendukung Jokowi tidak keberatan kalaupun harus membeli baju kotak kotak yang menjadi trend merk Jokowi. Mereka juga secara aktif membantu pasangan ini untuk mensosialisasikan di media jejaring sosial. Tercatat ratusan ribu akun berkumpul di group group pendukung Jokowi - Ahok.

Berkah kendati tidak sama dengan Jokowi - Ahok, memiliki modal yang kurang lebih sama. Penulis banyak mendengar langsung dari sumber di lapangan bahwa mereka yang datang ke arena kampanye Berkah sebagian besar tidak di ongkosi. Bahkan ibu ibu Muslimat yang merupakan tulang punggung Berkah harus rela urunan untuk datang ke lokasi demi mendukung Berkah. Antusiasme warga untuk sekedar melihat sosok Khofifah dan wakilnyapun terlihat istimewa. Ini belum termasuk budaya saweran yang seringkali terlihat dalam acara acara Berkah.

Selain dari massa pendukung, Berkah juga mendapat dukungan gratis dari pihak luar. Ahmad Dani dan Rhoma Irama adalah dua contoh di mana mereka rela tidak di bayar demi memenangkan pasangan Berkah. Intinya, dukungan voluntair di kubu Berkah menurut penulis jauh lebih banyak dari apa yang ada di kubu lawannya.

Tanda tanda lain adalah situasi psikologis. Selama ini publik terlanjur mempersepsikan Berkah sebagai pihak yang di dzolimi. Terlepas benar atau tidaknya secara fakta, yang pasti kasus kasus penjegalan yang di alami Berkah cukup memantik simpati massa. Kultur masyarakat kita sangat lekat dengan budaya belas kasih. Mereka akan melakukan segala cara untuk melakukan pembelaan jika terjadi pendzoliman. Kasus Prita, kasus Bibit - Candra dan banyak lagi. Sama halnya ketika Jokowi - Ahok jadi bulan bulanan isu SARA. Bukannya dukungan masyarakat menyusut, justru pendzoliman itu di balas tuntas oleh masyarakat dengan cara memenangkan Jokowi - Ahok.

Mengenai program saya kira bukan faktor dominan. Bahasa program tidak terlalu banyak di mengerti masyarakat. Sama seperti DKI, kemenangan Jokowi - Ahok menurut kami bukan karena janji janji kampanyenya. Akan tetapi kemampuan kandidat mengaduk aduk emosional pemilih. Gaya egaliter, merakyat dan sederhana yang di tampilkanlah faktor utamanya.

Sejauh pengamatan kami, Khofifah sukses menampilkan diri sebagai figur yang egaliter. Ketika lawannya jor joran iklan di mana mana, ia dengan rendah hati meminta maaf kepada pendukungnya karena tidak bisa melakukan hal yang seperti di lakukan lawannya. Ketika lawannya menyewa helikopter untuk menyambangi pendukungnya, Khofifah menyindir dengan cara yang unik. Membeli helikopter mainan di pasar, lalu menumpang becak menuju lokasi acara. Publik juga di jejali peristiwa peristiwa mengharukan seputar Berkah. Misalnya ketika juru kampanye berceramah, belasan ibu ibu berkeliling sembari membawa kardus meminta sumbangan pada hadirin. Sumbangan itu di dedikasikan untuk membantu Berkah. Dalam kesempatan lain, foto foto maupun video yang menampilkan Khofifah merangkul ibu ibu tua juga luar biasa memantik simpati.

Pribadi yang merakyat seperti ini kiranya menjadi trend. Sesuatu yang sekilas mudah, akan tetapi sulit di praktekkan. Betapa banyak pemimpin yang berusaha tampil merakyat akan tetapi tidak di respons positif oleh masyarakat. Kenapa ?. Karena penampilannya tidak di barengi dengan ikatan batin dengan pendukungnya. Tidak ada perasaan senasib sepenanggungan antara pemimpin dan rakyat. Makanya, kemasan apapun menjadi terasa hambar.

Dari segi dukungan tokoh masyarakat lokal, kiranya antara Berkah dan Karsa memiliki pendukung yang berimbang. Kyai kyai yang ada di dua kubu sekarang ini sebagian besar adalah pendukung utama mereka di ajang sebelumnya. Di Karsa ada KH Idris Marzuki, KH Jazuli dan lain sebagainya. Mereka adalah tokoh yang 2008 lalu juga mendukung Karsa. Sementara di kubu Berkah ada KH Hasyim Muzadi, Gus Sholah dan lain lain. Pada Pilgub 2008, para kyai ini juga mendukung Khofifah.

Yang membedakan adalah gairah. Gairah warga Nahdliyin kali ini berbeda dengan yang dulu. Wacana gubernur NU terdengar sangat kuat. Ini telihat dari survey yang di lakukan ISNU (Ikatan Sarjana NU) bulan Maret silam. Bahwa warga NU menginginkan gubernur yang berasal dari NU. Ironis sekali, jika Jawa Timur yang mayoritas warganya pengikut NU akan tetapi  belum pernah memiliki Gubernur yang berlatar belakang NU.

Keberadaan voluntair, profile egaliter, gairah nahdliyin dan loyalitas tanpa batas yang di pertontonkan ibu ibu Muslimat akankah sanggup mengantarkan Berkah memenangkan pilgub Jatim ?.

Waktu yang akan menjawabnya.

Minggu, 25 Agustus 2013

Polling : Berkah Berpeluang Jungkalkan Karsa

Seperti yang di prediksikan sejak awal, pertarungan memperebutkan kursi kepala daerah Jawa Timur kali ini sepertinya tak lebih dari ulangan pada ajang yang sama di tahun 2008. Antara pasangan Karsa dan Kaji (sekarang Berkah). Karsa di usung oleh Partai Demokrat dan puluhan partai lain baik yang memiliki kursi di DPRD maupun partai non kursi. Sementara Berkah di sokong oleh PKB dan 4 partai non parlemen dengan total modal suara 15% lebih sedikit. Kompetitor lain pasangan Bambang DH - Said Abdullah di usung PDI Perjuangan dan terakhir pasangan independen Eggy Sudjana - M Sihat.

Dalam survey yang di gelar Tampoll Gubrak (Team Polling Gubrak) sejak tanggal 12 – 25 Agustus 2013, dominasi dua pasang kandidat (Karsa – Berkah) tak terbantahkan lagi. Survey yang di ikuti 771 responden jejaring sosial (facebook) dengan metode pertanyaan tertutup ini menempatkan Karsa di posisi pertama dengan torahan angka 28,79%. Di posisi kedua menyusul Berkah dengan selisih sangat tipis, yaitu 27,1%. Kandidat yang di usung PDI Perjuangan Bangsa berada di posisi ketiga dengan raihan angka 13,61%. Terakhir Eggy Sudjana – M Sihat memperoleh dukungan responden sebesar 1,16%. Sementara pemilih yang belum menentukan berjumlah 29,31%.

Dari penguasaan wilayah dengan mengacu pada sistem dapil (daerah pemilihan), Berkah di prediksikan memenangkan setidaknya 6 dapil, Karsa 5 dapil. Dua pasangan lain di ramalkan hanya menjadi penggembira saja. Tapi jika kita mengacu pada peta kabupaten/kota, pasangan Karsa masih unggul dari Berkah dengan menguasai setidaknya 15 Kabupaten/Kota. Mengalahkan Berkah yang unggul di 11 Kabupaten/Kota. Sisanya 12 Kabupaten/Kota relative seimbang.

Daerah yang mungkin di menangkan Karsa

Di wilayah tapal kuda setidaknya Karsa unggul di Bondowoso, Probolinggo dan Kabupaten Pasuruan dan kabupaten Sidoarjo. Karsa juga menang di Lumajang dan Jember. Wilayah dengan jumlah penduduk besar yaitu Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kota Batu di prediksikan juga di kuasai Karsa. Daerah lain yang menjadi lumbung suara Karsa adalah Mataraman. Pasangan ini setidaknya unggul di Trenggalek, Magetan, Madiun, Kota Madiun dan Tulungagung dengan keunggulan yang berbeda beda.

Daerah yang mungkin di menangkan Berkah

Pasangan yang mengusung jargon Jatim Berkah ini di prediksikan menguasai hampir semua kabupaten di pulau Madura. Mereka juga unggul di pesisir utara Jawa Timur seperti Gresik, Lamongan dan Tuban. Sementara di area Mataraman, Berkah sukses mencuri perhatian di beberapa kabupaten/kota semisal, Pacitan, Ponorogo, Jombang, Kota dan kabupaten Mojokerto serta Blitar. Di Jombang misalnya, pasangan ini di ramalkan akan unggul mutlak. Begitu juga dengan Kota Mojokerto. 

Daerah abu abu

Adalah tempat di mana antara Karsa dan Berkah bersaing ketat. Di antaranya Kabupaten Banyuwangi. Di sini 3 pasang calon (Karsa, Bangsa dan Berkah) bertarung sengit. Begitu juga dengan Kota Surabaya. Wilayah dengan jumlah penduduk besar ini juga menjadi ajang pertaruhan tiga pasangan itu. Kemudian Situbondo dan Kota Pasuruan juga di prediksikan menjadi ladang hidup mati bagi Karsa dan Berkah. Di area Mataraman, yaitu Bojonegoro, Kediri, Nganjuk dan Ngawi kemungkinan juga akan berlangsung sengit.

Hasil Polling

Periode : 12 -25 Agustus 2013
Jumah responden : 771


1. Soekarwo – Syaifullah Yusuf : 28,79%
2. Eggy Sudjana – M Sihat : 1,16%
3. Bambang DH – Said Abdullah : 13,61%
4. Khofifah – Herman : 27,1%
5. Belum Menentukan : 29,31%

Margin of error  : 5%

Melihat peta persaingan antara Karsa dan Berkah yang sangat ketat, kemungkinan apapun bisa terjadi. Keunggulan Karsa yang hanya 1% lebih bukan tolok ukur bahwa pasangan ini bakal keluar sebagai juara. Setidaknya masih ada 29,31% responden yang belum menentukan. Pun juga bagi pasagan nomer urut tiga, Bambang DH – Said Abdullah. Peluangnya masih terbuka lebar meski tidak lebih baik dari Karsa dan Berkah. Daerah daerah yang di prediksikan akan di menangkan oleh calon tertentu juga masih mungkin berubah. Lagi lagi pemilih mengambang menjadi penentu kemenangan. Namun demikian, siapapun yang akan keluar sebagai juara nanti, kami ramalkan tidak akan menang dengan angka yang mutlak. Kecuali ada imigrasi pemilih besar besaran di detik detik terakhir.

Terimakasih kepada responden kami yang bersedia meluangkan waktunya. Terimakasih juga kepada relawan relawan Team Polling Gubrak. Semoga pilkada Jatim kali ini menghasilkan pemimpin yang benar benar di harapkan oleh rakyat Jawa Timur.

By TAMPOLL GUBRAK


By TAMPOLL GUBRAK

Jumat, 23 Agustus 2013

Dilema Pemilih Mengambang

Oleh : Putri Banowati

Sejauh pengamatan saya, ada semacam rasa was was atau tepatnya keraguan bagi responden yg sebenarnya memilih Berk4h. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengatakan "Belum Menentukan". Sebagian besar mereka adalah kaum perempuan, pemilih pemula dan pemilih dengan pendidikan minim.Situasi ini mirip sekali dengan kejadian di DKI. Yang akhirnya membuat prediksi hampir semua lembaga survey meleset.Ada beberapa hal yang membuat situasi seolah olah mengintimidasi.

1. Banyaknya partai pendukung pesaing.

Pada musim kampanye DKI lalu, situasi serupa terjadi. Dimana nyaris semua partai kecuali PDI Perjuangan dan Gerindra bersatu di belakang Foke - Nara. Setidaknya koalisi ini memiliki 80% lebih kursi DPRD. Sebuah kekuatan yang tentu saja cukup menggetarkan siapa saja yang menjadi lawan mereka. Apalagi jika mereka keluar rumah dan menyaksikan situasi di jalan jalan. Bendera, spanduk, baliho dari berbagai macam partai politik terpampang jelas dengan tema dukungan kepada incumben. Mereka yang kurang melek politik, walaupun mendukung Jokowi sekalipun kalau di tanya siapa yang akan memenangkan pilgub ?. Maka kemungkinan besar mereka menjawab incumben yg menang. Dan kalau di tanya, mana calon yang akan anda pilih ?. Mereka akan melihat dulu siapa yang bertanya. Mereka mesti memastikan dulu penanya adalah orang yang satu kubu, baru mereka jawab. Kalau tidak, mereka biasanya tidak bersedia menjawab.

2. Iklan yang jor joran.

Musim kampanye DKI, pasangan Foke - Nara merupakan kandidat yang paling banyak beriklan. Baik itu di televisi, melalui spanduk maupun media lainnya. Di setiap sudut kota Jakarta, tanda gambar pasangan ini begitu kentara mendominasi. Ini tidak sebanding dengan iklan Jokowi. Perbandingannya bagai langit dan bumi. Satu spanduk Jokowi - Ahok berbanding seratus spanduk Foke - Nara. Penulis yang kebetulan merupakan penduduk DKI saja di buat terheran heran. Jangankan alat peraga yang besar besar, bahkan untuk mencari stiker bergambar Jokowi - Ahok di teras teras rumah pendudukpun susahnya minta ampun. Bagi pemilih pemula, kaum perempuan dan kaum dengan pendidikan rendah, situasi ini tak ubahnya dunia mau kiamat. Mereka bersimpati dan berencana untuk memilih Jokowi - Ahok, akan tetapi mereka tidak punya keberanian untuk mengatakan itu kepada orang lain.

3. Isu SARA

Penulis ingat betul waktu itu bulan puasa. Timses Foke - Nara mengerahkan para dai, ulama dan habaib demi memberi pencerahan pada pemilih. Mereka di terjunkan ke masjid, mushola dan majlis majlis taklim. Dan mulailah di gencarkan isu SARA. Wakil Jokowi yang merupakan keturunan Tionghoa dan beragama Kristen jadi bulan bulanan. Kasus Rhoma Irama hanya percikan kecil. Di akar rumput, provokasi ini jauh lebih dahsyat lagi. Bukan hanya melalui ceramah ceramah, akan tetapi juga memasang spanduk berukuran 2x3 meter di berbagai sudut kota. Yang isinya bertuliskan himbauan agar umat Islam memilih kandidat yang seiman dan seagama.

4. Hasil polling lembaga survey

Pembaca bisa bayangkan, hampir semua lembaga survey kala itu dengan sangat percaya diri mengatakan bahwa Foke - Nara akan menang. Di antara mereka adalah lembaga lembaga survey kawakan yang sudah malang melintang di dunia survey. Misalnya LSI, Puskaptis, Indobarometer dan lain sebagainya. Bukan sekedar menang, akan sebagian malah memprediksi bahwa Foke - Nara akan tetapi menang satu putaran. Tragisnya lagi hasil survey yang menyatakan Foke - Nara ini akan menang dalam satu putaran di umumkan melalui spanduk spanduk dan di berbagai media. Di televisi misalnya, pemilik LSI Denny JA dengan sangat percaya diri mengatakan pilkada DKI berlangsung satu putaran.

Tentu Jakarta berbeda dengan Jawa Timur. Akan tetapi jika situasinya benar benar memenuhi unsur seperti yang penulis kemukakan, kemungkinan adanya kejutan di ajang lima tahunan kali ini terbuka lebar. Kemenangan Jokowi - Ahok adalah satu bukti bahwa rakyat sudah sangat cerdas. Serangan boleh gencar dan bertubi tubi, tapi mereka tetap kukuh. Kalau ada orang datang dan menawarkan sesuatu, mereka mengiyakan saja. Mereka juga mengangguk ketika para pemuka agama menasehatinya untuk memilih pemimpin yang seiman. Bahkan ketika lembaga survey menanyai siapa kandidat yang akan di pilih, mereka lebih suka menjawab tidak tahu, belum menentukan atau kalau perlu bilang golput.

So, apakah ini juga terjadi di Jawa Timur ?

Anda yang paling tahu...



Kamis, 22 Agustus 2013

Tribuana Tunggadewi, Sang Penakhluk dari Kahuripan


Penulis tergelitik dengan statemen salah satu responden Team Polling Gubrak (Tampoll Gubrak) yang mengatakan bahwa Jawa Timur adalah wilayah santri. Dalam Islam, tidak selayaknya perempuan jadi pemimpin. Adalagi responden yang dengan sangat percaya diri mengatakan bahwa Jawa Timur tidak akan maju kalau di pimpin perempuan. Selain itu bertentangan dengan aturan agama, juga bertentangan dengan kodrat wanita sebagai makhluk yang lemah.

Pernyataan pernyataan ini menurut penulis sangat tidak berdasar. Di samping NU sendiri pernah mengeluarkan fatwa kebolehan wanita menjadi gubernur, Jawa Timur di masa silampun faktanya pernah memiliki pemimpin perempuan. Bukan sekedar gubernur atau bupati. Tapi pucuk pimpinan tertinggi. Dialah Tribuana Tunggadewi. Raja Majapahit ketiga.

Nama aslinya adalah Tribuana Wijayatunggadewi. Anak dari pendiri Kerajaan Majapahit Raden Wijaya dari hasil perkawinannya dengan putri Kertanegara, Gayatri. Tahtanya berada di Kahuripan. Sebuah kawasan yang terletak di sekitar Sidoarjo dan merupakan wilayah bawahan Majapahit. Oleh karena itu, Tribuana Tunggadewi seringkali di sebut Bhre Kahuripan.




Cerita tentang tokoh sejarah yang satu ini memang jarang sekali di ketahui oleh khalayak. Masyarakat lebih mengenal kiprah Hayam Wuruk, Gajah Mada maupun pendiri Majapahit sendiri di banding mengenal sepak terjang istri dari Bhre Tumapel (Cakradara) ini. Padahal jika teliti mencerna sejarah, sejatinya peranan Tribuana Tunggadewi dalam merintis Majapahit menuju masa keemasan sangatlah besar.

Tribuana Tunggadewi adalah sosok di balik kesuksesan Gajah Mada. Sejak menjadi anggota bayangkara Majapahit, Tribuana sudah mengetahui kemampuan luar biasa yang di miliki abdinya ini. Maka ketika Tribuana di angkat sebagai ratu di Kahuripan, Gajah Mada di usulkan menjadi patih Kahuripan. Begitupun pasca meninggalnya Jayanegara akibat penyakit misterius yang kemudian di gantikan posisinya oleh Tribuana Tunggadewi, Gajah Madapun naik posisinya sebagai Mahapatih Majapahit.

Di bidang politik, prestasi raja ketiga dengan julukan Tribuanatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani ini sangatlah menarik. Dia otak di balik padamnya pemberontakan Keta dan Sadeng. Bahkan dalam kasus Sadeng, raja perempuan pertama Majapahit ini bertindak sebagai panglima perang. Tidak hanya di situ, Tribuana juga terlibat sebagai pengarah di susunnya rencana besar yang di galang Gajah Mada melalui apa yang di sebut sebagai Sumpah Palapa.

Di bawah pemerintahan Tribuana, Majapahit sukses menakhlukkan Pejeng, Dalem Bedahulu (kerajaan yang terletak di Pulau Bali) dan seluruh wilayah Bali. Tidak cukup sampai di situ, Tribuana juga sukses menakhlukkan Kerajaan Melayu, Sumatera.

Prestasi moncer Bhre Kahuripan inilah yang kemudian di teruskan oleh putranya, Hayam Wuruk. Setelah di gantikan oleh Hayam Wuruk, peranan Tribuana di bidang politik tidak serta merta surut. Dia tetap menjadi pengarah cita cita agung Majapahit. Tugasnya adalah memberi masukan pada Hayam Wuruk dan seluruh nayakapraja Majapahit dalam mengatur tata kelola pemerintahan.

Dari tulisan di atas, kiranya alasan menolak kepemimpinan perempuan karena di anggap lemah sangat tidak masuk akal. Kalau perempuan Jawa Timur di anggap lemah, barangkali Tribuana Tunggadewi tidak akan pernah sanggup mengukir kesuksesan seperti yang kami kemukakan di atas. Dan barangkali Indonesia belum tentu seluas dan sehebat sekarang. Kata Bung Karno 'Jas Merah', jangan sekali kali melupakan sejarah.

Selamat berpesta demokrasi untuk warga Jawa Timur !!!

Jumat, 16 Agustus 2013

Nasionalisme Di Ujung Jalan






Saya tergelitik dengan pernyataan seseorang yang mengatakan bahwa "Nasionalisme membuat agama terkotak kotak". Pernyataan ini kemungkinan besar di dasarkan atas situasi selama ini di mana bingkai nasionalisme seolah mengabaikan tumbuhnya rasa solidaritas 'ukhuwah' antar sesama pemeluk agama. Nasionalisme menghalangi kita untuk mengulurkan tangan kepada saudara kita yang sedang menderita nun jauh di sana. Suriah, Palestina, Mesir, Rohingnya dan lain sebagainya. Nasionalisme juga mencabut doktrin mulia yang pernah Allah dan nabi katakan.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara.” (Al Hujurat: 10)

“Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya adalah laksana bangunan yang saling menguatkan bagian satu dengan bagian yang lainnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

"Seorang muslim adalah bersaudara dengan sesama muslim lainnya" (HR Ibnu Majah)

Kalimat 'nasionalisme membuat agama terkotak kotak' ini kemudian menjadi justifikasi akan pentingnya membongkar sebuah sistem bernegara yang melandaskan diri pada semangat nasionalisme. Dengan begitu, apa yang di sebut ukhuwah islamiyah bisa di wujudkan tanpa berfikir akan sekat sekat negara yang membatasinya. Dengan dalih persaudaraan pula, negara mendapat legitimasi untuk melakukan aksi lintas batas secara penuh demi 'menyelamatkan' saudaranya di tempat lain yang dalam keadaan tertindas. Begitu kira kira yang ada dalam pikiran mereka yang selama ini begitu gigih mengkampanyekan jargon 'nasionalisme membuat agama terkotak kotak'.

Menolong sesama, entah mereka tinggalnya dimana saja apalagi saudara seagama tentu bukan perbuatan yang buruk. Karena sudah tabiat manusia menjadi makhluk sosial. Akan tetapi menjadi rancu ketika kemudian karakter sosial dalam bingkai ukhuwah itu di lakukan dengan cara menabrak sifat sifat alaminya sendiri. Dalam bahasa lain 'merdeka dengan cara menjajah'. Membebaskan satu golongan dengan menjajah golongan lain. Memperjuangkan sebuah ukhuwah dengan cara meruntuhkan ukhuwah.

Banyak kasus yang penulis merasa bahwa semangat ukhuwah itu nyatanya di laksanakan dengan cara berlebihan tanpa mengkalkulasikan akibat akibat yang mesti di tanggung oleh sebuah bangsa. Kasus Palestina - Israel misalnya, tidak sedikit yang mendorong pemerintah Indonesia untuk berpartisipasi lebih luas. Misalnya dengan cara mengirim kontingen angkatan perang demi membantu perjuangan mereka. Atau setidaknya negara ikut memfasilitasi, mengkoordinasi, melatih dan mengirim warganya untuk berjuang bersama saudaranya di tempat lain. Begitu juga dengan kasus Suriah dan Mesir. Sebagian kita berusaha untuk memaksa pemerintah untuk bersikap tegas dengan memutuskan hubungan bilateral atau kalau perlu dengan cara yang lebih keras lagi.

Solidaritas antar umat seagama yang saya pikir terlalu kebablasan. Bayangkan, dengan kondisi jarak yang demikian jauh, di tambah problematika lain misalnya mengenai biaya dan segala resikonya, kita secara gegabah mengirim kontingen perang ke Palestina. Selain tidak efisien, implikasinya terhadap nasib bangsa tentu tidak kecil. Ekonomi, keamanan dan stabilitas negara tentu akan menjadi taruhan. Begitu juga dengan kasus Mesir maupun Suriah. Jika kita secara membabi buta memutuskan hubungan diplomatik, lalu bagaimana dengan warga kita yang bekerja dan menuntut ilmu di sana. Bagaimana dengan hubungan dagang yang sudah terjalin baik dan saling menguntungkan selama ini. Bukankah justru akan memberi dampak yang lebih membuat bangsa ini menderita ?.

Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 190 berfirman, "Berperanglah kalian di jalan Allah melawan orang orang yang memerangi kalian dan jangan melampaui batas"

Kalimat 'jangan melampaui batas' ini kiranya yang wajib kita perhatikan. Ukhuwah islamiyah penting. Tapi semangat nasionalisme juga penting. Keduanya tidak bisa saling menafikan. Ada batasan batasan tertentu tentang seberapa jauh kita bisa berbuat untuk saudara kita di belahan negeri lain yang sudah di tetapkan oleh agama. Dalam banyak riwayat, nabi seringkali menekankan untuk menyelesaikan dulu perkara perkara yang ada di sekitar kita sebelum kemudian berkontribusi untuk dunia luar.

Nabi pernah melarang seorang sahabat untuk berjihad karena ia lebih di butuhkan oleh keluarganya. Nabi juga mewanti wanti para mujahid untuk menyelesaikan dulu hutangnya, memenuhi kebutuhan keluarga dan tetangganya sebelum berangkat jihad. Dalam bahasa lain, berjuang itu haruslah di mulai dari lingkungan sekitar. Keluarga, tetangga dan negara. Bahkan jumhur ulama memberi syarat lain bagi mujahid sebelum berangkat. Yaitu meminta ijin kepada mereka yang memberi piutang. Artinya, kalaupun kita hendak melakukan intervensi militer, salah satu yang harus kita penuhi dahulu adalah meminta ijin pada yang memberi piutang. Dalam skala negara, mau tidak mau kita harus meminta persetujuan pihak pihak yang menghutangi kita. Apakah itu IMF, World Bank, Amerika, Jepang atau bahkan mungkin musuh dari saudara muslim yang akan kita bela. Apakah ini sudah di lakukan ?

Mari kita simak ucapan manusia agung rasulullah Muhammad SAW di bawah ini :

Suatu ketika beliau berkhutbah mengenai jihad fii sabilillah. Seorang sahabat kemudian bertanya, " Ya Rasulullah, bagaimana pendapat anda jika saya terbunuh di jalan Allah apakah seluruh dosa saya diampuni ?.” Beliau menjawab,”Ya, jika kamu terbunuh di jalan Allah sedang kamu bersabar dan mengharap pahala Allah, kamu maju dan tidak melarikan diri.” Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya,” Apa pertanyaanmu tadi?” Ia menjawab,” Apa pendapat anda jika saya terbunuh di jalan Allah, apakah seluruh dosaku terhapus?”. Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam menjawab,” Ya, jika kamu terbunuh di jalan Allah sedang kamu bersabar dan mengharap pahala Allah, kamu maju dan tidak melarikan diri (maka seluruh dosamu diampuni) kecuali hutang karena Jibril mengatakan hal itu kepadaku.”

(HR Muslim, Nasai, Ahmad, Baihaqi, Ad Darimi)

Dalam riwayat lain nabi mengatakan, "seorang syahid di ampuni segala dosanya, kecuali hutang".

Nasionalisme itu semangat mempertahankan kedaulatan dan martabat sebuah bangsa. Semangat satu nasib dan satu tujuan dalam skup bernegara. Sesuatu yang nyatanya juga di lakukan nabi Muhammad ketika beliau menandatangani piagam Madinah. Jadi tidak relevan jika di katakan bahwa nasionalisme membuat agama terkotak kotak. Apalagi jika di kaitkan dengan ciri nasionalisme yang sudah di bangun para pendiri bangsa.

"Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial".

Platform ini tidaklah jauh berbeda dengan apa apa yang di ajarkan nabi. Bahwa memenuhi kebutuhan keluarga, tetangga dan negara mesti di dahulukan sebelum ikut terlibat dalam urusan yang lebih luas. Sikap pemerintah yang mengedepankan misi kemanusiaan dalam setiap konflik yang melanda negara lain sudah lebih dari cukup. Dalam konflik Palestina, kita sudah tegas dengan mendukung kemerdekaan Palestina. Dalam konflik sesama muslim di Suriah dan Mesir, tindakan pemerintah juga sangat bijak. Menekankan dialog dan perdamaian. Jadi tidak ada alasan mengatakan nasionalisme Indonesia membuat agama terkotak kotak.

Justru sikap seperti ini yang mestinya kita dakwahkan ke sesama muslim di belahan dunia lain. Sangat ironis, jika sesama muslim di Suriah berperang, kemudian muslim di tempat lain ramai ramai datang ke sana untuk berperang di salah satu pihak. Ini bukannya menyelesaikan masalah tapi malah menambah masalah. Begitu juga dengan yang terjadi di Mesir. Mereka yang berkonflik adalah sesama muslim.

Kalau di katakan nasionalisme kita membuat agama terkotak kotak, bukankah yang terjadi di Suriah, Mesir dan lain sebagainya adalah kebalikan dari itu ?. Agama ternyata juga membuat sebuah bangsa terkotak kotak. Membuat antar warga negara berperang satu sama lain atas dasar keyakinan.

So, tidak semua bentuk nasionalisme itu mengkotak kotakkan agama. Dan tidak semua bentuk agama itu mengkotak kotakkan sebuah bangsa...


DIRGAHAYU INDONESIAKU,

Sabtu, 03 Agustus 2013

Kalau bisa Gubernur, Kenapa harus Wagub ???

Sebuah survey yang di selenggarakan ISNU (Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama) pada Maret 2013 menyebutkan bahwa populasi warga Nahdliyin di Jawa Timur mencapai 60% dari total jumlah penduduk. Sebuah angka yang luar biasa besar sekaligus mempertegas Jawa Timur sebagai basis utama NU. Namun ironisnya, kekuatan massa yang demikian besar tidak menjadikan NU atau kader NU memimpin di tanahnya sendiri. Terbukti tidak satupun gubernur Jawa Timur yang berasal dari NU. Bahkan ketika PKB memenangkan pemilu legislatif di Jawa Timur 1999 dan 2004, kader NU tetap gagal merebut posisi Jatim 1.

Pict : suryaonline

Prestasi terbesar NU baru pada posisi wakil gubernur. Adalah Syaifullah Yusuf yang mendampingi Soekarwo sukses merebut posisi itu pada ajang pilgub Jatim 2008. Pasangan ini secara dramatis mengalahkan calon lain yang juga berasal dari NU, Khofifah Indar Parawansa. Yang membedakan, di kubu Karsa, kader NU nya berposisi sebagai cawagub, sementara di kubu Kaji kader NUnya berposisi sebagai Cagub.

Kasus yang sama kini terulang. Dengan aktor yang kurang lebih sama. Karsa vs Berkah. Cagub NU vs Wagub NU. Soekarwo - Syaifullah Yusuf (NU) berhadapan dengan Khofifah (NU) - Sumawiredja. Kejadian ini seolah pengulangan 2008 di mana kedua kubu terlibat pertarungan sengit. Kemenangan Karsa tidak bisa di tempuh dengan cara mudah. Mesti melalui pilkada ulangan bahkan harus pula maju ke meja MK. Selisih suara keduanyapun terpaut sangat tipis, yakni sekitar 60 ribuan.


Lantas, apakah ajang kali ini Karsa akan kembali menang ???

Survey yang di lakukan Tampoll Gubrak beberapa waktu lalu menunjukkan betapa pasangan Karsa sangat mendominasi bila pilgub tanpa menyertakan Khofifah. Angka yang di bukukan mencapai 46%. Jauh meninggalkan Bambang - Said 8% dan Eggy - Sihat di bawah 1%. Sekali lagi itu dengan catatan Khofifah tidak ikut serta dalam kompetisi. Ketika DKPP memutuskan pasangan Khofifah - Sumawiredja berhak mengikuti pilgub, maka petanya sudah pasti akan berubah.

Apalagi angka 46% yang di peroleh Karsa sebagian besar bukanlah berasal dari pendukung fanatik Karsa. Yaitu pendukung yang akan tetap memilih Karsa dalam keadaan apapun. Faktanya sebagian pemilih Karsa adalah pendukung Khofifah. Para pendukung Khofifah ini lebih memilih Karsa dengan pertimbangan yang cukup sederhana. Yaitu faktor kedekatan kultural di mana pasangan Karsa lebih mewakili NU daripada pasangan lain. Memang tidak secara jelas berapa persen pendukung Khofifah yang menyeberang ke kubu Karwo, akan tetapi angkanya cukup signifikan.

Masuknya Khofifah - Sumawiredja (Berkah) sudah pasti akan menggerogoti dukungan terhadap Karsa. Keikutsertaan pasangan yang di usung PKB dan beberapa partai gurem ini di prediksikan juga akan mengurangi jumlah pemilih golput yang dalam polling kemarin sekitar 46%. Belajar dari ajang pilkada lain, jumlah suara golput yang wajar biasanya sekitar 30-35% dari total pemilih. Artinya 10-16% responden abstain kemungkinan akan menggunakan hak pilihnya. Lalu kemana arah suara mereka ?

Dari wawancara pendalaman kami terhadap responden, sebagian responden yang memilih untuk golput di antaranya di sebabkan karena tidak masuknya Khofifah dalam kompetisi. Sebagian lagi mengatakan ingin melihat visi misinya dulu, dan sebagian lain adalah responden apatis yang tidak akan memilih siapapun.

Faktor NU memang menjadi daya magnet tersendiri. Bayangkan saja, ketika KPUD menggagalkan Khofifah dan sebagian orang menduga bahwa biang keladinya adalah incumben, akar rumput ternyata merespons berbeda. Sebagian besar pemilih Khofifah justru mengalihkan dukungan ke Karsa. Bukan calon lain yang sebenarnya tidak terlibat dalam aksi penjegalan Khofifah. Yang penting NU. Begitulah yang ada di benak warga Nahdliyin. Walaupun hanya wakil gubernur.

Bagaimana jika ada kader NU yang tidak sekedar mencalonkan diri sebagai wakil gubernur, tapi maju sebagai gubernur ?

Survey yang di adakan ISNU pada bulan Maret 2013 menyebut bahwa sebagian besar warga NU lebih menginginkan gubernur berasal dari kalangan NU. Pembaca bisa membuka link ini : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,43062-lang,id-c,nasional-t,Nahdliyin+Jatim+Inginkan+Gubernur+NU-.phpx

Jika hasil survey ISNU ini merepresentasikan sikap warga NU, maka kemungkinan Karsa kalah terbuka lebar. Ini belum kita bicara soal fakta politik di banyak pilgub dimana calon calon yang di usung oleh Partai Demokrat bertumbangan satu persatu. Di pulau Jawa saja, tak satupun pilgub yang sudah di gelar bisa di menangkan calon dari Demokrat. Padahal secara umum partai ini adalah pemenang di pulau Jawa bahkan Indonesia. Partai Demokrat seolah menjadi publik enemy. Siapapun yang di usung Demokrat dan berhadapan dengan figur manapun, calon Demokrat tetap tidak di pilih rakyat.

Ada pepatah, pilkada itu lebih di tentukan oleh figur. Bukan partai. Tapi bagi Demokrat sepertinya tidak berlaku. Kemenangan calon lebih di tentukan oleh Partai. Maka sekuat apapun figur, kalau ia di usung Demokrat, ia akan kalah. Figur Foke kurang populer bagaimana ?. Dia Ketua PWNU DKI, putra Betawi, birokrat yang sudah lama berkecimpung di Jakarta. Dede Yusuf siapa yang meragukan kepopulerannya. Dia figur yang bersih dan jauh dari isu miring. Bibit Waluyo juga begitu. Tokoh yang satu ini relatif bersih dan mengakar di Jawa Tengah. Tapi semua tumbang. Bahkan beberapa di antaranya kalah dengan calon yang berdomisili di luar daerah.

Saran kami, Timses Karsa yang terdiri dari 30 parpol lebih seyogyanya lebih berhati hati dalam menjalankan strategi. Kandidat ini menghadapi dua persoalan pelik. Fanatisme warga NU dan kutukan Partai Demokrat.

Penulis : Gubraker Semprul