Senin, 29 April 2013

'Demokrasi' kok Boros ???

"Ucapan ulama sepertinya tidak lagi manjur. Banyak sekali kandidat yang di dukung oleh kyai, nyatanya malah kalah. Kenapa ?. Karena biasanya yang sowan ke kyai adalah kandidat yang notabene tidak punya uang. Pemilih lebih melihat uang daripada memilih taat pada fatwa ulama".

"Dulu, para caleg yang maju dalam kontestasi adalah mereka yang dalam masyarakat sudah terbukti memiliki pengabdian. Maka itulah masyarakat mendukungnya untuk maju. Tapi sekarang, rasanya hal seperti itu sudah sangat langka. Mereka lebih mementingkan pencitraan, mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk memoles dirinya agar di pilih. Dan bukan karena melalui pengabdian pada masyarakat".
Diskusi rutin di Sokotunggal, Rawamangun Jakarta Timur

Ungkapan ini saya kutip dari pernyataan salah satu pentolan MKRI (Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia), Adie Massaedi beberapa saat lalu pada sebuah diskusi rutin yang di gelar di padepokan Sokotunggal Rawamangun, Jakarta. Pernyataan yang saya pikir bukan sekedar isapan jempol semata. Faktanya yang terjadi di lapangan memang demikian. Demokrasi yang di gagas oleh para 'reformis' pasca 98 setidaknya menyisakan bara api yang makin hari makin membakar seluruh struktur yang ada. Masyarakat mendadak di hadapkan kepada sebuah sistem yang sangat kapitalis. Yang semua kegiatan politik selalu bertumpu pada segi materi.

Pernyataan ini juga di amini oleh sohibul bait, Gus Nuril Arifin. Menurut salah satu Dewan Khos Pagar Nusa ini, untuk menjadi caleg DPR RI di sebuah dapil, untuk biaya saksi saja, seorang caleg harus mengeluarkan uang tak kurang dari 300 juta rupiah. Ini belum termasuk biaya alat peraga, biaya kampanye, biaya survey dan biaya biaya lain yang tentu saja angkanya lebih dahsyat lagi. Padahal gaji seorang anggota parlemen tidaklah sebanding dengan pengeluaran yang di korbankan caleg untuk menggapai kursi kekuasaan. Maka tidak heran jika kemudian,  mereka yang menduduki jabatan itu berlomba lomba untuk mengeruk uang rakyat demi mengembalikan modal yang sudah di keluarkan. Politik kapitalis ini bukan saja telah merusak tatanan pemerintahan yang ada, akan tetapi sudah sedemikian masif menghancurkan tatanan sosial di masyarakat. Bahkan sudah masuk ke lembaga keagamaan yang sudah seharusnya steril dari intrik intrik kepentingan.

Dalam kesempatan yang sama, Ratna Sarumpaet, seniman sekaligus Ketua MKRI kurang lebih menyatakan keprihatinan serupa. Aktifis yang sudah malang melintang dalam memperjuangkan demokrasi, kesetaraan dan keadilan ini mengaku heran dengan respons masyarakat yang sangat minim. Jelas jelas ketidak adilan sudah merusak semua nilai di sekitarnya, tapi mereka hanya bisa diam.


Kita Butuh Pressing Group Yang Kuat

Sepertinya memang begitu. Reformasi yang sudah di bangun oleh para pendahulu, nyatanya malah menyeret kondisi bangsa ini ke dalam jurang kapitalistik nan kejam. Persaingan dalam memperebutkan kekuasaan sudah tidak lagi di pijakkan pada pola right man on the right job, akan tetapi lebih bertumpu pada pemilik modal. Partai Politik yang seharusnya menjadi pabrik bagi calon calon kader bangsa, justru menjadi pelopor merebaknya politik kapitalis. Kita bisa melihat bagaimana proses pencalegan yang di lakukan partai politik. Fenomena masuknya puluhan pekerja hiburan yang tanpa melalui kaderisasi layak, fenomena caleg berbau nepotisme, masuknya para pemilik modal sebagai tulang punggung partai dan lain sebagainya.

Dalam demokrasi memang sah sah saja. Setiap warga masyarakat berhak untuk memilih dan di pilih. Akan tetapi sudah seharusnya kepentingan masyarakat yang nanti akan di pimpin menjadi dasar pokok untuk maju. Bisa di bayangkan, apa yang terjadi nanti, ketika seseorang yang sama sekali buta terhadap persoalan masyarakat, tiba tiba tampil menjadi pemimpin ?. Bukankah ini justru akan menjadi malapetaka bagi bangsa ?.

Kondisi yang demikian carut marutnya, sudah saatnya mendapat penanganan serius. Seperti kata Ratna Sarumpaet, masyarakat sebagai pemilik sah negeri ini tidak boleh hanya diam dan jadi penonton. Harus ada gerakan nyata untuk melawan hegemoni kapitalis.

(Di saring dari diskusi rutin malam Jum'at di Pondok Pesantren Sokotunggal Rawamangun, Jakarta)
Penulis : Komandan Gubrak

Sabtu, 27 April 2013

SANG PENDAMAI

"Rekonsiliator itu tidak harus terkenal, tidak perlu terkenal dan kalau perlu adalah orang orang yang sama sekali tidak di kenal. Ia adalah seseorang yang hanya mengerti bahasa bekerja, dan setelah apa yang ia kerjakan selesai, maka ia di lupakan".

Kutipan yang mungkin tidak lengkap ini saya petik dari salah seorang tokoh, ulama sekaligus pejabat penting dalam struktur NU di salah satu kota Jawa Tengah. Saya tidak berani menyebut nama, karena dalam tausiyahnya beliau mengatakan agar apa yang ia sampaikan tidak perlu terlalu di blow up di media. Namun demikian, rasanya substansi yang beliau sampaikan saya anggap penting untuk di ketahui, terutama bagi mereka yang konsen terhadap tema tema perdamaian dan keadilan.

Sang tokoh ini kemudian memaparkan sebuah cerita menarik bagaimana beliau dan timnya menangani wabah radikalisme atas nama agama yang begitu marak di kota tempat tinggalnya dan juga terjadi di tempat lain. Tidak seperti yang biasa kita lihat di permukaan, yang penanganannya lebih mengedepankan gaya lugas, masif bahkan militeristik. Rekonsiliator sejati menggunakan cara yang lebih lunak dan terkadang mesti menabrak pakem yang ada. Penekanannya ada di sisi kemanusiaan. Setegas apapun karakter seseorang, sekeras apapun tindakan seseorang dan sejahat apapun dia, tentu ada sisi manusiawinya. Maka pendekatan yang paling mungkin bisa di lakukan adalah pendekatan kemanusiaan.

Dalam menangani kasus laskar jihad misalnya, beliau mencontohkan hal kecil namun menarik untuk di tiru. Ketika para milisi ini berangkat ke medan 'jihad', sudah pasti mereka meninggalkan keluarga yang ada di rumah. Istri, anak, saudara dan lain sebagainya. Yang mungkin secara ekonomi akan mengalami kebuntuan akibat di tinggalkan oleh tulang punggungnya. Dari sinilah tim masuk. Mengumpulkan dana, bersilaturahmi dan membantu meringankan beban keluarga yang di tinggalkan itu. Tidak cukup sampai di situ, ketika pelaku (anggota laskar) kemudian tertangkap dan di jebloskan ke penjara oleh aparat berwenang, tim juga mengirimkan konselor, pendamping dan pengajar ke penjara.

Yang menarik, semua yang di lakukan di atas tidak menyertakan simbol simbol, bendera organisasi atau apa saja yang berpotensi memicu resistensi. Semacam operasi senyap, di mana sasaran tidak pernah tahu dan tidak sadar bahwa mereka sedang di upayakan untuk berdamai dengan pihak di seberang. Baru setelah semua proses selesai, di mana dendam dan kebencian sudah terkikis, waktu yang akan membukanya.

Sebuah pekerjaan yang menurut saya sangat cerdas, rapi dan tepat sasaran. Maka ada benarnya, bahwa rekonsiliator memang harus tidak terkenal. Dia hanya mengerti bahasa bekerja, tanpa perlu publikasi, tanpa perlu di kenal. Yang dalam doktrin Gubrak kita mengenal kalimat "Rela Tidak Populer Demi Persatuan dan Kesatuan Bangsa".

Ada banyak konflik di sekitar kita. Baik konflik politik, konflik ideologi, konflik etnis dan lain sebagainya. Yang ke semuanya membutuhkan penanganan komprehensif. Membutuhkan figur figur yang mengerti bagaimana mengelola konflik agar menjadi energi positif yang bermanfaat.


# Kalau semua orang sibuk mengurusi kaum santri, lalu siapa yang mengurusi abangannya?
# Kalau semua orang sibuk bertempur, lalu siapa yang menjadi dokternya ?
# Kalau semua orang sibuk menjadi bapak, lalu siapa yang berperan sebagai ibunya ?

Senin, 22 April 2013

Cara ERRORin SNC Telkomsel Sebulan Penuh

Cara ERRORin SNC Telkomsel Sebulan Penuh ini sudah ane coba selama dua minggu dan aman-aman saja buat browsing, download, dan ngupload. Yang mau cekidot caranya.

cara: sncX
password: pass1+pass2 +pass3

Minggu, 21 April 2013

MELAWAN PENYESATAN OPINI LEMBAGA SURVEY SEWAAN

Beberapa kali Team Polling kami di tanya, sebenarnya survey ini maksudnya apa sih ?. Ada sangkut pautnya dengan kandidat yang bertarung, nggak ?. Siapa yang membiayai ?. Mau di arahkan atau tidak ?. Dan masih banyak lagi varian pertanyaan yang pada intinya ingin tahu, sebenarnya Team Polling Gubrak (Tampoll Gubrak) visinya seperti apa.

Sebelum kami menjawab, kami ingin ilustrasikan dulu peristiwa Pilkada DKI beberapa bulan yang lalu. Seperti layaknya pilkada di tempat lain, sebelum pemungutan suara, kita di suguhi berbagai macam hasil survey dari berbagai lembaga. Dari lembaga polling terkenal, yang petingginya sering di jadikan narasumber di media massa, hingga lembaga abal abal. Dari yang terang terangan mengaku di sewa sebagai konsultan kandidat sampai yang mengklaim independen.

Dan seperti yang kita ketahui bersama, sebelum pencoblosan putaran pertama di laksanakan, kita melihat hampir semua lembaga survey kompak mengumumkan bahwa pasangan Fauzie Bowo - Nachrowi Ramli akan memenangkan pilkada DKI. Memang angkanya berbeda beda. Ada yang mengatakan menang 30an persen, ada yang bilang 40an persen bahkan ada lembaga survey mengatakan bahwa Foke - Nara bakal menang satu putaran. Dan seolah ingin menegaskan bahwa survey mereka valid, tak jarang para petinggi lembaga survey mengiklankan di TV, koran, spanduk dan lain sebagainya dengan mengatakan bahwa Foke menang satu putaran. Masyarakat di cekoki angka angka yang nyaris sama. Foke Nara menang dan sang phenomenon Jokowi Ahok bakal terkapar di DKI dengan kekalahan yang cukup signifikan. LSI misalnya, menempatkan Foke dengan perolehan hampir 50% dalam surveynya. Sementara pesaing terdekatnya Jokowi - Ahok hanya akan duduk di runner up dengan perolehan sekitar 30%.

Namun nyatanya, ketika pencoblosan berlanjut dengan penghitungan suara selesai, publik di kejutkan dengan hasil pilkada yang sungguh jauh dari apa yang pernah di prediksikan oleh banyak lembaga survey. Jangankan menang satu putaran, bahkan perolehan suara pasangan Foke - Nara malah berada di urutan kedua dengan torehan kurang lebih 34% dan jauh di bawah perolehan pasangan Jokowi Ahok yang menyapu angka 43%. Hasil ini tentu saja memantik banyak pertanyaan, ada apa dengan lembaga survey ?.

Selain di DKI, kesalahan beberapa lembaga survey terkenal juga berlanjut di pilkada lain. Di Jawa Barat misalnya, LSI dengan sangat percaya dirinya menempatkan pasangan Dede Yusuf - Lex Laksamana sebagai pemenang dalam beberapa kali surveynya. Angka terakhir cukup meyakinkan. Yaitu menang sekitar 37%, yang artinya jago dari gabungan beberapa partai ini akan menang satu putaran. LSI tidak sendirian. Kami mencatat setidaknya ada 3 lembaga polling yang memenangkan pasangan itu. Tapi apa yang terjadi ?. Dede Yusuf - Lex Laksamana bukannya menang, tapi malah terjerembab di posisi ketiga.

Dua pilkada itu sesungguhnya bukan yang pertama kalinya lembaga survey membuat kesalahan dalam prediksi. Sudah terjadi berkali kali. Dan anehnya, lembaga lembaga survey yang kerap kali melakukan kesalahan itu, masih saja di percaya oleh media massa. Mereka tetap di undang media untuk melakukan analisa politik, mengumumkan hasil survey dan berkoar koar layaknya dukun politik. Masyarakat yang sudah tahu di bohongi oleh surveyor surveyor sewaan, masih saja di suguhi pembohongan lanjutan. Media seolah memfasilitasi mereka untuk memberikan alasan alasannya, kenapa bisa salah. Media massa seolah tak peduli bahwa kebohongan itu bukan yang pertama kalinya. Sungguh, sebuah kolaborasi yang rapi namun munafik.

Dari situlah sebenarnya kami, dari Komunitas Gubrak Indonesia merasa terpanggil untuk melakukan perlawanan intelektual. Bukan sekedar membangun opini semata. Tapi kami ingin berbuat sesuatu yang nyata. Yaitu dengan menyajikan data tandingan yang mungkin bisa jadi penyeimbang lembaga lembaga survey yang ada. Di pilkada DKI, walaupun secara metode kami masih terkesan asal asalan, publik bisa melihar bahwa sejak awal kita sebenarnya sudah menggulirkan wacana wacana yang berbeda. Dalam banyak statemen, baik melalui jejaring sosial maupun blog, kami sebenarnya sudah sejak awal memprediksikan bahwa Jokowi Ahok tidak bisa di anggap enteng. Tentu saja karena posisi kami belum cukup prestisius untuk di anggap sebagai peneliti politik, maka apa yang kami sampaikan kepada publik tidak serta merta di percaya. Namun demikian, itu kami anggap sebagai obat agar kami melakukan tindakan yang lebih kongrit lagi.

Oleh sebab itu di even Pilkada Jabar, dengan metode sederhana dan kemampuan finansial seadanya (karena memang tidak ada yang membiayai selain dari kantong sendiri) kami akhirnya ikut ambil bagian dalam mensurvey elektabilitas calon di Jawa Barat. Tidak seperti lembaga survey lain yang memakai relawan berjumlah banyak, mendatangi calon responden secara langsung dan menggunakan metodologi survey yang layak. Dalam survey yang kami gelar, metodenya sangat sederhana. Yaitu melalui jejaring sosial facebook. Sesuatu yang kami kira belum pernah di lakukan oleh lembaga lain.

Kenapa kami menggunakan metode itu ?.

Pertama, sudah pasti karena kami tak punya uang untuk mengirim relawan dari rumah ke rumah. Kita tidak punya sumber dana dari kandidat. Kita juga tidak pernah berfikir untuk membuat proposal guna mencari dana. Seadanya saja. Bahkan dalam sampelpun kami tak punya target. Tidak harus 1000 responden atau lebih. Ratusan bahkan puluhan saja bagi kami tidak menjadi masalah. Yang penting kami sudah melakukan perlawanan.

Kedua, selain bisa di kerjakan hanya di depan komputer di rumah masing masing ataupun di warnet, Facebook kami anggap lebih bisa di percaya di banding dengan jejaring sosial lain semisal Twitter. Masyarakat facebook adalah masyarakat umum dengan varian lebih luas. Penggunanyapun terhitung paling besar di banding pengguna jejaring sosial lain. Itu artinya facebook lebih mewakili pendapat masyarakat di banding dengan media lain. Walaupun anggota team kami banyak juga yang menggunakan twitter, akan tetapi media itu tetap kami anggap belum representatif. Seperti halnya komunikasi elite dan rakyat yang seringkali tidak nyambung, menurut penelitian kami, opini yang berkembang di twitter juga kurang linier. Karena memang pemakainya biasanya adalah kalangan yang notabene elitis. Maka, suara twitter tidak bisa di katakan sebagai suara rakyat kebanyakan.

Dengan metode sederhana, berbiaya ringan dan di kelola dengan minim SDM, nyatanya hasil survey yang kami sajikan ternyata tidak kalah presisi dengan lembaga survey berbiaya milyaran. Pilkada Jabar bisa jadi bukti, betapa kami nyatanya jauh lebih presisi dari lembaga survey manapun dalam hal prediksi. Ini saja bagi kami sudah cukup menjadi pelecut untuk melakukan perlawanan lebih agresif lagi.


Penyesatan Opini Oleh Lembaga Survey

Barangkali kalau kita teliti dengan seksama, nyaris tidak ada lembaga survey yang tidak memihak. Kenapa ?. Faktor biaya operasilah yang menjadi kendala. Banyak lembaga survey di Indonesia yang belum cukup mandiri dalam hal finansial. Oleh sebab itu, jalan satu satunya adalah dengan cara bekerjasama dengan kontestan. Semacam hubungan saling menguntungkan. Kontestan di untungkan dengan adanya lembaga survey. Dengan begitu mereka bisa mengukur sejauh mana kekuatan elektabilitasnya. Selain itu, survey juga bisa jadi acuan untuk membuat strategi khusus untuk memenangkan kompetisi. Di pihak lain, lembaga survey juga tertolong secara finansial demi kelangsungan reseacrh.

Namun ironinya, gelontoran uang dari para kandidat kepada lembaga survey tak jarang malah menggerogoti idealisme para peneliti. Maka, penelitian yang mereka lakukanpun kemudian tidak independen lagi. Mereka lebih mementingkan bagaimana menyenangkan kliennya. Walaupun hasil akhirnya di kotak suara berkata lain.

Pilkada DKI dan Jabar adalah salah dua dari banyak contoh bagaimana sebuah idealisme di gadaikan. Para peneliti itu bukan berarti tidak tahu mana yang benar mana yang salah. Akan tetapi ini menyangkut kontrak kerjasama dengan kandidat. Sebagian besar lembaga survey nyatanya tidak sekedar di sewa untuk melakukan survey semata. Akan tetapi juga di sewa sebagai konsultan politik. Artinya, mau tidak mau mereka harus ikut bermain untuk memenangkan majikannya. Maka tak heran mereka kemudian berkolaborasi dengan calon untuk membentuk opini di masyarakat. Bahkan kolaborasi itu tak jarang juga bekerjasama dengan media massa.

Inilah yang kami sebut sebagai penyesatan opini oleh lembaga survey. Idealisme intelektual terpaksa harus di tanggalkan demi membantu donaturnya untuk mencapai tujuan. Maka tak heran kalau di sana sini terdapat banyak perbedaan hasil antara lembaga survey satu dengan yang lain. Di Jawa Tengah misalnya, ada survey yang mengatakan bahwa calon A berpotensi memenangkan kompetisi. Tapi di sisi lain, lembaga polling lain memprediksikan bahwa calon B yang menang.

Sebenarnya itu sah sah saja. Pun juga hasil polling bukanlah hasil pemilu sebenarnya. Akan tetapi dalam banyak hal, kami melihat bahwa apa yang mereka lakukan kurang lebih adalah upaya untuk membentuk opini. Agar masyarakat terpengaruh untuk memilih calon yang mereka prediksikan dalam polling berpeluang menang.

Oleh sebab itu penting bagi kita semua untuk melakukan perlawanan, jikalau memang survey survey yang ada tidak independen. Ini di perlukan tidak saja demi kepentingan masyarakat luas, akan tetapi juga demi kontestan yang ikut berkompetisi. Setidaknya agar mereka berkompetisi secara jujur. Lebih mengandalkan program untuk menarik simpati, daripada mengandalkan kerja lembaga survey sewaannya. Bagaimanapun, biaya polling itu tidak kecil. Apalagi jika teritorialnya sangat luas.

Tentu saja, apa yang Tampoll Gubrak lakukan belumlah bisa di katakan maksimal. Harus di sadari bahwa tidak semua masyarakat adalah pengguna jejaring sosial, utamanya facebook. Oleh sebab itu, metode yang kami lakukan bukan tanpa kelemahan. Banyak kelemahannya. Terutama dalam hal validitas responden. Akun anomali misalnya, ini juga bisa menjadi penyebab kegagalan metode kami. Namun demikian, hal itu bukan sesuatu yang membuat kami harus ciut nyali. Kita akan terus berusaha untuk memperbaiki metode yang kita pakai secara terus menerus agar mendapatkan hasil maksimal. Dan yang paling penting adalah kerjasama yang baik antara relawan kami dan calon responden.

Mungkin ini hanyalah perlawanan kecil, akan tetapi tekad kami jauh lebih besar dari itu...


Jakarta, April 2013

Team Polling Gubrak (Tampoll GUBRAK)

Selasa, 16 April 2013

Internet Gratis Chat Ebuddy Handler April 2013

Internet Gratis Chat Ebuddy Handler April 2013
yang suka chatting, ini yang gretongan semua kartu

ebuddy telkomsel disini
ebuddy indosat disini
ebuddy axis disini
ebuddy tri disini
ebuddy xl disini

Trik Internet Gratis UcWeb Handler April 2013

Trik Internet Gratis UcWeb Handler April 2013
ini juga yang paling hot, sedot

ucweb xl dimari
ucweb telkomsel dimari
ucweb tri dimari
ucweb indosat dimari
ucweb axis dimari

Trik Internet Gratis BH Browser HP April 2013

Trik Internet Gratis BH Browser HP April 2013
terbaru dari sejumlah forum gretongan

internet gratis bh xl april 2013 dimari
internet gratis bh telkomsel april 2013 dimari
internet gratis bh indosat april 2013 dimari
internet gratis bh tri april 2013 dimari
internet gratis bh axis april 2013 dimari

Mendapatkan Pulsa Gratis Telkomsel April 2013

Cara Mendapatkan Pulsa Gratis Telkomsel Bulan April 2013
caranya langsung sedot dibawah tapi jangan bilang siapa-siapa :D

pulsa gratis telkomsel dimari
sms dan telpon gratis telkomsel dimari

Kamis, 11 April 2013

PREMANISME, NARKOTIKA dan KEHANCURAN SEBUAH BANGSA

"Dadi ben ketok nyambut gawe ngono loh, ora gur cangkem thok!!!"
(Jadi biar kelihatan bekerja gitu loh, bukan cuma ngomong doang!!!)

Saya mencatat, kalimat ini beberapa kali di ungkapkan oleh Gus Nuril Arifin dalam berbagai kesempatan. Sebuah nasehat atau lebih tepatnya sindiran bagi kita semua, bahwa sudah saatnya kita tidak hanya mengetengahkan wacana belaka. Harus ada tindakan nyata dalam mengaktualisasikan sebuah gagasan. Sebab problematika yang ada di depan mata sudah berlangsung begitu masif, akut, bertaut kelindan dan sangat merusak sendi sendi kehidupan.

Kasus penembakan di Lapas Cebongan misalnya, peristiwa itu tidak bisa di pandang hanya kasus kecil berbau balas dendam. Akan tetapi ada sesuatu yang lebih besar lagi di balik peristiwa itu. Pertarungan antara mafia narkoba yang melibatkan beking beking kuat di belakangnya. Baik itu beking dari oknum korp baju coklat maupun korp baju hijau yang kesemuanya ingin mengambil keuntungan dari legitnya bisnis haram narkoba. Demikian statemen pengasuh Pondok Pesantren Soko Tunggal itu dalam menanggapi isu mutakhir mengenai peristiwa Cebongan.

Lebih lanjut Gus Nuril mengatakan, omset dari peredaran narkoba di Indonesia ini nilainya tidak tanggung tanggung. 50 trilyun per tahun. Sebuah angka yang tentu saja lebih besar dari alokasi APBN yang di kucurkan ke setiap departemen kementerian yang ada kecuali Kementerian Pertahanan (77,27T), Kementerian PU (69,14 T) dan Kementerian Pendidikan (66 T). Sementara anggaran institusi kepolisian yang merupakan aparat paling depan dalam pemberantasan kejahatan narkoba hanya berkisar di angka 43,4T. Maka tidak heran jika kemudian banyak aparat penegak hukum lebih senang berkongkalingkong dengan para bandar narkoba daripada melaksanakan tugasnya. Sebab, apa yang di dapat dari para bandar angkanya lebih menggiurkan. Ironisnya, para penegak hukum yang terlibat dalam bisnis haram ini levelnya tidak lagi kelas bawah, tapi sudah menjangkiti hingga tingkat atas. Bahkan kejahatan ini konon juga melibatkan tangan tangan asing yang menginginkan Indonesia terus mengalami kemunduran.

Apa yang terjadi di China di tahun 1800 an adalah contoh nyata, di mana untuk melaksanakan niatnya menguasai negeri Tiongkok, bangsa Eropa menggunakan narkotika sebagai alat yang sangat efektif untuk melemahkan semangat dan mentalitas bangsa China. Mereka memperkenalkan barang haram itu tidak saja pada kalangan atas, tapi juga pada kalangan rakyat. Maka yang terjadi adalah kehancuran moral, ekonomi dan tatanan sosial di masyarakat. Pada titik inilah kemudian bangsa Eropa (Inggris) menyatakan perang terhadap China. Dan bisa di duga, hanya dalam tempo 8 tahun, daratan China jatuh ke tangan Inggris. Ini sebenarnya yang di inginkan pihak asing pada Indonesia.

Catatan BNN di periode 2012 menyatakan bahwa 2 dari 100 penduduk Indonesia adalah pengguna narkotika. Artinya dari 250 juta penduduk Indonesia, 5 juta (setara dengan jumlah penduduk di Provinsi Aceh) di antaranya adalah konsumen narkotika. Sebuah angka yang sangat mengkhawatirkan. Tidak saja merusak kader kader bangsa, akan tetapi juga menggerus ekonomi kita.

Oleh sebab itu di butuhkan tindakan nyata dari seluruh elemen anak bangsa. Tidak sekedar berwacana atau memberi saran kepada pemerintah saja, akan tetapi harus berani mendesak atau kalau perlu memaksa pemerintah untuk melakukan tindakan yang paling keras untuk memerangi kejahatan ini. Pelaku kriminalnya mesti di berantas, mereka yang berada di belakang para bandar, baik itu elite politik, birokrat maupun aparat penegak hukum harus di bersihkan.





Quote : "Jika pengadilan di meja hukum tidak berjalan dengan semestinya, maka yang akan terjadi adalah pengadilan jalanan" (KH Buchorie Masruri) 

Penulis : Dhan Gubrack
Photografer : Badut Semprul

Sabtu, 06 April 2013

BINTANG SEMBILAN DI SARANG MERCY

Jum'at kemarin saya di tanya salah seorang kawan, kemana sebaiknya PKB Gus Dur melabuhkan pilihan politiknya. Saya jawab, kalau yang prospeknya bagus, Gerindra. Setidaknya itu menurut hasil survey Tampoll Gubrak (Team Polling Gubrak) beberapa saat lalu yang memprediksikan bahwa partai besutan mantan Danjen Kopassus Prabowo Subianto itu akan memenangkan pemilu 2014. Akan tetapi yang namanya pilihan politik tentu saja terserah yang bersangkutan. Hanya saja kalau mau ambil jalan pintas tanpa perlu bekerja keras, seharusnya gerbong Yenny Wahid merapat ke partai partai yang minim resistensi.

Sabtu pagi saya mendapat kabar bahwa Yenny Wahid berencana membawa gerbong PKB Gus Dur (PKBIB) untuk bergabung ke Partai Demokrat. Sebuah berita yang cukup mengejutkan bagi saya dan mungkin publik Indonesia. Terus terang saya juga tidak bisa memahami kenapa Yenny Wahid membuat keputusan demikian. Apa untungnya ?. Apa untungnya berada dalam satu barisan bersama partai yang akhir akhir ini menjadi 'musuh' rakyat ?. Alih alih mendapat pujian dari publik, bisa saja malah mendapat cacian dan cemoohan dari masyarakat. Dan sepertinya kecaman itu sudah di lancarkan publik. Setidaknya melalui kicauan mereka di jejaring sosial.

Beberapa saat lalu saya berkomunikasi dengan beberapa petinggi PKBIB di daerah membicarakan soal langkah politik yang di ambil Ketua Umum DPN PKBIB itu. Saya ingin tahu, apakah langkah itu mendapat dukungan dari pengurus di tingkat terendah atau tidak. Ini penting. Bagaimanapun, akan terasa sia sia jika Yenny Wahid menyatakan bergabung ke Demokrat tapi tidak di ikuti oleh barisan pendukungnya. Tidak saja itu akan merugikan Partai Demokrat yang mungkin terlanjur memberi konsesi politik, akan tetapi juga berakibat fatal bagi karir Yenny Wahid sendiri. Dia hanya akan di anggap sebagai politisi oportunis yang memanfaatkan nama besar keluarganya untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Respons kawan kawan di tingkat akar rumput PKBIB rupanya cukup positif. Bukan saja mereka siap secara moril mendukung langkah pengurus pusat, akan tetapi rupanya juga di barengi kesiapan untuk ikut ambil bagian dalam tahapan pemilu jika di perlukan. Nyaris tanpa catatan maupun keberatan. Bahkan beberapa pengurus di tingkat bawah yang saya lihat hoby menyerang partai penguasa, sama sekali tak berniat membangkang.

Ini saja sudah modal penting, sekaligus menjawab pertanyaan apakah tepat atau tidak PKBIB bergabung ke Demokrat. Artinya, langkah politik Yenny Wahid di prediksikan tidak sendirian. Gerbong PKBIB hingga tingkat terbawah kemungkinan besar akan mengikuti keputusan pengurus pusat.

Lalu bagaimana dengan sikap publik yang selama ini cenderung antipati terhadap Partai Demokrat ?.

Saya pikir, kinerja politik itu butuh waktu. Kalau Yenny Wahid dan barisannya bisa membuktikan kepada masyarakat bahwa mereka mampu mengemban kepercayaan rakyat, tidak ikutan berperilaku koruptif dan senantiasa menjaga moral, tentu penilaian itu lambat laun akan terkikis dengan sendirinya. Tapi jika di kemudian hari amunisi baru di Partai Demokrat ini sama saja dengan politisi lain yang berperilaku tercela, rakyat sudah pasti akan menghukum mereka.

Perlu di catat bahwa sistem pemilu kita menganut sistem proporsional terbuka. Di mana kemenangan sebuah partai di tentukan oleh figur figur yang bertarung di setiap dapil. Kader kader PKBIB rata rata adalah wajah baru yang belum memiliki cacat politik. Ini modal utama untuk ikut berkiprah di tempat yang baru. Pun juga, loyalis Gus Dur sepanjang yang saya tahu adalah tipe pemilih yang walaupun fanatis tapi tetap rasional. Kalau di rasa bagus, mereka akan memilih, apapun partainya.

Dulu, ketika sebagian besar ulama dan warga Nahdliyin menganggap bahwa PPP adalah satu satunya partai yang mewakili kepentingan mereka, Gus Dur bikin ulah dengan membawa Tutut yang notabene kader Golkar jalan jalan ke pesantren. Langkah ini banyak di kecam. Bahkan tidak sedikit ulama yang kemudian memusuhi Gus Dur. Tapi apa yang di hasilkan di kemudian hari ?. Warga NU mendapat pelajaran penting dalam hal demokrasi. Bahwa berbeda pilihan itu sesuatu yang biasa.

Di tahun 80an, ketika semua elemen elemen Islam bersatu padu menolak asas tunggal, NU membuat gebrakan kontroversial dengan mengakui Pancasila. Langkah ini tentu saja di kecam oleh kalangan muslim. Karena di anggap keluar dari semangat politik Islam. Namun apa yang terjadi puluhan tahun kemudian ?. Ketika konflik sektarian tak henti hentinya mendera negeri ini, rakyat mulai sadar bahwa mereka butuh sesuatu yang bisa menjadi pijakan bersama. Yang bisa menaungi keanekaragaman yang ada di masyarakat.

"Di medan perang, anda hanya akan mati sekali dan tak bisa hidup lagi. Tapi dalam politik, anda bisa berkali kali mati dan hidup lagi"

Selamat 'bergabung' di rumah baru. Semoga tidak malu maluin....

Jakarta, April 2013
oleh : Dhan Gubrack

 SBY menjadi saksi pernikahan Dhohir Farizi dan Yenny Wahid (pict : www.presidenri.go.id)

Selasa, 02 April 2013

POLLING : ANCAMAN GOLPUT BAYANGI PILGUB JATENG

Kendati waktu pelaksanaan pemilihan kepala daerah Provinsi Jawa Tengah yang rencananya akan di gelar 26 Mei 2013 sudah di depan mata, namun antusiasme masyarakat dalam menyambut hajatan lima tahunan ini masih tergolong minim. Situasi tersebut tergambar dari hasil polling yang di gelar Tampoll Gubrak (Team Polling Gubrak) pada 20 Maret – 02 April 2013, di mana angka pemilih yang belum menentukan relatif masih sangat tinggi. Yakni 44,85%.

Ada beberapa alasan yang di kemukakan responden soal mengapa mereka belum juga memutuskan untuk memilih kandidat tertentu. Pertama, ketidaktahuan sebagian masyarakat soal siapa saja calon pemimpin mereka yang akan maju di pilgub nanti. Berbeda dengan pilgub lain, semisal DKI yang walaupun pasangan calonnya banyak, akan tetapi media secara massif terus menerus memberitakan. Atau pilgub Jawa Barat di mana calonnya terdiri dari beberapa tokoh dan selebriti yang memang sudah di kenal masyarakat. Dalam perhelatan pemilukada Jateng, tokoh tokoh yang muncul sebagian besar bukanlah figur yang familiar di telinga masyarakat Jawa Tengah.  Kecuali hanya Bibit Waluyo yang memang sudah di kenal dan sekarang masih menjabat sebagai gubernur. Sementara yang lain hanya di kenal di kalangan tertentu saja. Calon pemilih dengan tipe ini menjadi penyumbang terbanyak besarnya angka pemilih yang belum menentukan.

Kedua adalah mereka yang menyatakan mengenal calon akan tetapi masih menunggu visi misi dan program yang akan di sodorkan para kandidat. Dan terakhir adalah tipe pemilih apatis yang tidak terlalu peduli dengan hingar bingar pilkada. Sedangkan pertanyaan yang kami ajukan sebagai berikut :


Menurut anda, siapakah di antara calon Kepala Daerah di bawah ini yang paling layak memimpin Jawa Tengah ?

A. Bibit Waluyo - Sudijono Sastroadmodjo
B. Hadi Prabowo - Don Murdono
C. Ganjar Pranowo - Heru Sudjatmoko
D. Tidak Tahu


Seperti yang seringkali kami lakukan, polling ini menggunakan media jejaring sosial di mana kami mengirimkan pertanyaan tertutup berupa pesan pendek kepada pengguna facebook yang berdomisili di wilayah tertentu. Jangkauan areanya pun belum terlalu luas. Yakni hanya meliputi 6 kota yang ada di Jawa Tengah. Kota Surakarta, Kota Magelang, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan dan Kota Tegal. Tentu, polling perkotaan ini belum bisa di katakan mewakili seluruh kabupaten/kota  yang ada di Jawa Tengah, akan tetapi setidaknya bisa menjadi gambaran bagaimana serunya pertarungan antar kandidat.


Bibit – Sudijono Unggul

Dan dari hasil jajak pendapat yang kami gelar selama 2 minggu itu pasangan incumbent, Bibit Waluyo – Sudijono Sastroatmodjo tampil sebagai pemenang dengan torehan angka 22,16%. Pasangan yang di usung oleh Partai Demokrat, Partai Golkar dan PAN menang di 4 kota, yaitu Semarang, Pekalongan, Salatiga dan Magelang. Di Kota Semarang yang memiliki penduduk terbanyak di banding kota lain, pasangan ini menang muthlak dengan raihan 29,72%. Mengalahkan pasangan Hadi Prabowo – Don Murdono yang hanya menyapu suara 14,86% dan Ganjar Pranowo – Heru Sudjatmoko 9,45%. Sedang sisanya belum menentukan.


Kemenangan secara meyakinkan bagi pasangan ini juga di peroleh di Kota Pekalongan, walaupun angkanya tidak setinggi Kota Semarang. Sementara di Magelang, Bibit – Sudijono unggul tipis atas rival terdekatnya yakni pasangan Ganjar - Heru. Dan pertarungan paling sengit terjadi di Kota Salatiga dimana ketiga kandidat sama sama kuat dan incumbent hanya menang tipis.


Sementara calon yang di usung PKB, PPP, Gerindra, PKS dan PKNU (Hadi Prabowo – Don Murdono) memenangkan Kota Tegal. Namun demikian keunggulan pasangan ini tidaklah terlalu signifikan. HP – Don memperoleh angka 19,69%, di susul Bibit – Sudijono 18,18%, Ganjar – Heru 12,12%, dan sisanya belum menentukan. Kemenangan tipis HP – Don di Kota Tegal ini sebenarnya bisa di mengerti mengingat sebagaimana tempat tempat lain, pantura di anggap sebagai lumbung suara partai partai berbasis NU semisal PPP, PKB dan PKNU. Makanya, di Kota Pekalonganpun Hadi – Don juga di prediksikan akan menjadi lawan serius bagi Bibit Waluyo. Bahkan jika mengacu data Semarang dan Salatiga yang menempatkan HP – Don sebagai rival terdekat Bibit, kami memprediksikan kawasan Pantura akan di warnai pertarungan sengit antara Bibit – Sudijono melawan Hadi – Don.


Terakhir, Ganjar Pranowo – Heru Sudjatmoko. Anggota DPR RI yang berpasangan dengan mantan bupati Purbalingga, Heru Sudjatmoko ini di prediksikan menang mutlak di Kota Surakarta dengan angka 28,08%. Jauh meninggalkan kedua kandidat lain yang hanya memperoleh 7 -8 % dan sisanya belum menentukan. Pasangan yang hanya di usung PDI Perjuangan ini juga memperoleh dukungan signifikan di Kota Magelang. Sayangnya kami belum mensurvey kawasan Banyumasan yang notabene merupakan basis partai nasionalis. Andaikata kami juga mengambil salah satu dari empat kabupaten di Banyumasan sebagai sample, hasilnya tentu akan ada perbedaan walaupun belum tentu signifikan. Pun demikian, dari 6 kota yang kami survey, setidaknya kita bisa meraba raba bagaimana sesungguhnya peta politik Jateng kaitannya dengan ajang pilkada nanti. Wilayah utara akan di perebutkan antara Bibit versus Hadi Prabowo, di selatan menjadi medan pertempuran antara Bibit dan Ganjar, sementara di tengah bisa jadi di perebutkan oleh ketiga pasangan. Dari data yang berhasil kami himpun, ketiga kandidat sama sama memiliki peluang untuk menang, mengingat belum satupun kandidat yang sanggup mengumpulkan dukungan di atas 30%. Belum lagi di tambah besarnya  jumlah pemilih yang belum menentukan.


Berikut Hasil Polling Gubrak di 6 Kota Jawa Tengah

A. Bibit Waluyo – Sudijono Sastroatmodjo : 84 (22,16%)
B. Hadi Prabowo – Don Murdono : 58 (15,3%)
C. Ganjar Pranowo – Heru Sudjatmoko : 67 (17,67%)
D. Tidak Tahu : 170 (44,85%)
Total responden  : 379

Relawan Polling
1. Jo Rudy
2. Dhan Gubrack
3. Dyah Salma
4. Sabar
5. Subhan
6. Makmum