Senin, 27 Agustus 2012

Survei : Muslim Asia Tenggara Paling Taat


Umat Islam di kawasan Asia Tengara terbilang paling taat di dunia terutama dalam melaksanakan rukun Islam. Demikian hasil survei yang dirilis Pew Research Center, baru-baru ini.  Hasil survei itu menyebutkan umat Islam dari  Indonesia, Malaysia dan Thailand paling rutin membayar zakat. Sekitar 98 persen orang Indonesia mengatakan mereka membayar zakat setiap tahunnya. Disusul Thailand dan Malaysia, yakni sekitar 93 persen.

"Di Asia Tenggara dan Asia Selatan, sembilan dari sepuluh Muslim mengaku rutin membayar zakat," demikian laporan hasil survei yang melibatkan 5 ribu Muslim Asia Tenggara seperti dikutip onislam.net, Senin (27/8).

Untuk puasa, hasil survei itu menyebutkan 100% Muslim Thailand mengatakan mereka berpuasa, sedangkan Muslim Malaysia dan Indonesia hanya 99 persen yang berpuasa.

Sementara itu, umat Islam Indonesia paling banyak melaksanakan shalat di Masjid. Dari hasil survei diketahui sekitar 72 persen orang Indonesia mengatakan rutin shalat berjamaah di Masjid. Di Malaysia hanya 63 persen Muslim yang shalat di Masjid.

Soal haji, hanya 6 persen Muslim Asia Tenggara yang melaksanakan rukun Islam ke lima tersebut. Jumlah tersebut sangat kecil dibandingkan dengan prosentase Muslim Timur Tengah dan Afrika Utara yang berangkat haji yakni 17 persen.

Yang menarik dari hasil survei ini, sekitar 90 persen umat Islam Asia Tenggara masih percaya dengan urusan tahayul seperti jimat penangkal kejahatan atau kemalangan.


Sumber : www.republika.co.id

Astaghfirullah Makam Sufi Libya Di Hancurkan


TRIPOLI -- Kelompok bersenjata meratakan sebuah masjid yang di dalamnya terdapat makam para Muslim Sufi di pusat Kota Tripoli, Libya, Sabtu (25/8). Kejadian yang terjadi di siang hari tersebut merupakan salah satu serangan sektarian terbuka terbesar sejak rezim Muammar Qadafi terguling.

Pejabat pemerintah mengecam aksi penghancuran Masjid Sha'ab dan menuding kelompok bersenjata melakukan tindakan yang anti-Islam. Penyerangan terhadap situs Sufi itu adalah yang kedua kalinya dalam dua hari.

Pelaku diduga merupakan kelompok yang menolak pemberhalaan terhadap makam. Mereka juga merusak dan membakar perpustakaan masjid di Kota Zlitan, Jumat. Akibat masalah ini, Presiden Libya yang baru dipilih oleh Kongres Nasional Mohamed al-Magariaf memanggil perdana menteri untuk menghadiri pertemuan darurat, Ahad (26/8). "Hal yang sangat disesalkan dan patut dicurigai adalah beberapa orang yang seharusnya menjadi pasukan pengamanan justru ambil bagian dalam kegiatan penghancuran tersebut," ujar Magariaf kepada wartawan, Sabtu malam.

Dia tidak menjelaskan lebih perinci mengenai peran serta pasukan keamanan. Di dalam masjid, tampak kuburan yang sudah hancur di antara reruntuhan. "Pasukan militer dalam jumlah besar membawa senjata sedang dan berat. Mereka tiba di masjid untuk menghancurkannya karena menurut mereka makam tersebut adalah bagian dari praktik anti-Islam," kata seorang pejabat yang menolak namanya disebut.

Pria tersebut juga mengatakan pihak berwenang telah berusaha menghentikan mereka. Namun, setelah sempat bentrok kecil, polisi memutuskan mengisolasi area tersebut dan membiarkan tindakan kelompok bersenjata menghancurkannya. Hal itu dilakukan untuk mencegah kekerasan meluas.

Dewan Militer Zlitan, Omar Ali, mengatakan anggota Islam Konservatif memanfaatkan situasi saat polisi sedang meredakan bentrokan. "Mereka lalu menghancurkan bangunan makam itu," ujarnya.

Di dalam Masjid Sha'ab terdapat makam 50 sufi. Di luarnya juga ada kuburan tokoh Sufi Libya Abdullah al-Sha'ab dan pejuang Libya yang bertempur melawan kolonialis. Juru Bicara Dewan Tertinggi Keamanan Libya (SSC), Abdel Moneim al-Hurr, mengecam tindakan tersebut.

Pemimpin Libya terus berusaha mengendalikan kelompok bersenjata yang ingin menguasai Libya sejak Qadafi dilengserkan setahun yang lalu.

Salah satu yang menjadi masalah, yakni konflik antara pendukung tradisi sufi dan mereka penganut Islam Konservatif. Anggota Islam Konservatif ini menolak berbagai macam bentuk pemberhalaan, termasuk pembangunan kuil atau makam untuk menghormati salah satu tokoh.

Mereka juga menolak tradisi menari. Tidak hanya di Libya, mereka juga mengincar sejumlah bangunan yang dianggap berhala, seperti di Mesir dan Mali. Di Libya, kelompok Islam Konservatif ini memiliki brigade bersenjata.

Ulama sufi yang juga penjaga lokasi ziarah di Zlitan, Mohammed Salem, mengatakan pemerintah mendapatkan tekanan politik yang cukup kuat dari kelompok Islam Konservatif.

Dalam sebuah laman Facebook tertulis sebuah ucapan selamat dari pendukung penghancuran makam tersebut. "Bersama untuk Penghapusan Tempat Ziarah Abdul Salam al-Samar." Sebuah simbol terbesar penyembahan berhala di Libya.


Link asal : http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/12/08/27/m9e51c-astagfirullah-makam-sufi-libya-dihancurkan

Kerusuhan SARA dan Problem Berbangsa

Tiba tiba semua tersentak, kerusuhan di Banten belum reda, muncul kerusuhan di Temanggung. Daerah yang adem ayem, tentram dan  ijo royo royo, yang di sana banyak ulama besar semisal kyai Parak (abahnya KH Muhaimin Gunardho) berdakwah, membangun pesantren dan masyarakat. Temanggung yang tenang tiba tiba di datangi pasukan yang entah dari mana. Ada yang mengatakan dari Solo, ada yang mengatakan dari bogor, bahkan ada isu bahwa  mereka ini digerakkan oleh tokoh Jakarta. Ada pula yang menyebut berasal dari Mindanao, kelompok ini di duga hendak melakukan aksi balas dendam atas kematian beberapa gembong teroris akhir akhir ini dan juga atas pengadilan terhadap terdakwa kasus terorisme yang masih hidup.

Kerusuhan ini tak pelak mengisyaratkan betapa loyonya para penegak hukum sehingga dengan mudahnya orang orang luar masuk ke Temanggung dan membuat keonaran tanpa bisa di cegah lagi. Polisi mungkin tidak mau di cap telah kecolongan, akan tetapi nyatanya kejadian ini sungguh telah merobek dan mencederai hak asasi manusia bahkan telah membongkar system trias politika yang di anut negara demokrasi bernama Indonesia ini. Dan yang lebih menyesakkan dada adalah, pelakunya dengan garang dan tanpa sungkan sungkan lagi melabeli perbuatannya dengan agama.

Tulisan ini sebenarnya sebagai refleksi dari pertanyaan para wartawan cetak dan elektronik, mereka menanyakan hal hal yang mengarahkan kepada kasuistis parsial, maka saya katakan saya tidak mau berkomentar kalau anda semua menanyakan yang parsial parsial.

Kenapa ?.

Kejadian buruk yang tidak saja mencoreng nama baik agama, khususnya Islam, juga mencoreng nama baik bangsa dimata dunia. Bahwa pemerintah ternyata tidak mampu melaksanakan undang undang dasar 45. Pemerintah yang berkewajiban melindungi segenap tanah tumpah darah dan menyelenggarakan kesejahteraan umum, gagal. Pemerintah hanya bertutur dan berkomentar, atau paling banter mengutuk. Saya bilang, tugas Menko Polkam dan Presiden itu bukan mengutuk atau melaknat kejadian yang sangat biadab itu. Sebab mengutuk itu perilakunya nenek sihir.

Pemerintah harusnya segera menugaskan pejabat keamanan untuk melakukan tindakan nyata. Mas Joko tidak cukup berwacana, tetapi menegur dan memerintahkan anak buahnya baik TNI maupun Polri untuk segera melakukan tindakan nyata. Tangkap dan adili pelaku kerusuhan. Tidak usah bingung mencari payung hukum segala sebagaimana yang di pidatokan SBY. Negara ini negara hukum, dan Pancasiala serta UUD 45 adalah hukum tertinggi kita. Dari sini sudah cukup menangkap para pelaku kerusuhan atas nama agama itu.

Allah dalam kitab suci mengatakan ‘wa idza akromna ala bani adam’ (Allah meninggikan derajad anak cucu Adam). Maka tidak boleh dibantai sebagaimana membantai anjing atau kucing. Bahkan ayam ketika disembelihpun menggunakan tatacara yang santun yang tidak menyakitkan. Padahal ini binatang.

Pemerintah sebenarnya sudah faham, intelnya banyak, mulai dari Koramil , Polsek sampai tingkat nasional. Alat bukti juga lebih dari cukup untuk melakukan tindakan. Yang di perlukan hanya keberanian dan kejujuran untuk membela bangsanya sendiri dari intervensi organisasi dan LSM LSM asing yang berusaha merusak pranata sosial.

 Azas Manfaat.

Selama ini semua kejadian demi kejadian tidaklah berdiri sendiri ini. Semua by design.  Ada kecurigaan, pemerintah SBY menggunakan kasus bernuansa SARA ini untuk menutupi dan mengalihkan isu. Selama ini rakyat melihat, begitu century akan terkuak, tiba tiba di munculkan penangkapan teroris. Demikian pula ketika kasus gurita Cikeas yang menghebohkan mencuat,  dimunculkanlah episode penangkapan terroris di Temanggung. Dan ketika sekarang Gayus lagi merdu merdunya menyanyi, lantas  DPR kepleset memperlihatkan belangnya dengan mengusir komisioner KPK (Bibit dan Candra) maka muncul kerusuhan Ahmadiyah di Cikeusik dan kerusuhan Temanggung.

Pola orde baru yang diterapkan rezim sekarang ini nampak nyata sekali. Maka wajar kalau kejadian demi kejadian mengesankan adanya pembiaran. Kan sangat lucu jika intel yang sebanyaknya itu tidak mampu mendapatkan laporan akurat untuk dijadikan bahan pengambilan keputusan. Orang membawa narkoba hanya beberapa gelintir saja dapat tercium, ini ribuan orang berbondong bondong dibiarkan. Dan pemerintah kenapa tidak berani tunjuk hidung bahwa FPI yang selama ini menjadi biangnya ?.  Kenapa ?.

Azas manfaat ini juga digunakan oleh musuh musuh SBY, untuk memancing emosional rakyat. Kelaparan, kemiskinan, pengangguran, tingginya harga kebutuhan pokok dan lain sebagainya menjadi peluru ampuh bagi kaum oposisi untuk  mendiskreditkan pemerintah. Jika ini di biarkan, maka kasus  revolusi Mesir bisa saja terjadi di Indonesia. Mereka yang menjadi musuh musuh SBY bisa saja menunggangi masalah masalah di atas untuk menggulingkan SBY.

Saya setuju saja dengan langkah lanagkah lawan SBY yang menghendaki pemerintah ini berhenti saja karena memang sudah demikian carut marut. Tetapi saya tidak setuju dan sangat menolak jika cara pengambilan kekuasaan itu mengorbankan rakyat kecil. Mengorbankan minoritas sebagai tumbal. Karena disamping sangat tidak elegan juga akan melahirkan cost sosial yang sangat besar. Disamping itu, kalaupun toh berhasil menggulingkan SBY, rehabilitasi untuk mengembalikan kehidupan yang plural, rukun dan senantiasa bernafaskan Bhineka tunggal ika, sangat susah. Artinya, keberhasilan itu tidak ada artinya.

Negara bangsa,

Rakyat dan para elite yang sudah kadung muak melihat jalannya pemerintahan ini sebaiknya berfikir jernih. Jangan terlalu tamak kekuasaan. Sebab kalau antara kedua belah pihak (pemerintah dan lawan lawan politiknya) tidak bisa menahan diri, dan terus memaksakan kehendaknya, yang menjadi korban tetap saja rakyat.

Kita harus kembalikan kesadaran rakyat dan bangsa ini, juga para pemimpin partai untuk kembali belajar kepada sejarah, belajar kepada komitmen kebangsaan, belajar kepada niat awal pendidirian negara bangsa ini. Bahwa NKRI adalah negara bangsa yang di susun dari berbagai suku bangsa, agama, adat dan kepercayaan. Ingatlah pada KH Wahid Hasyim dan Agus Salim, serta BPUPKI pada waktu merumuskan negeri ini bersama Bung Karno 60 tahun lalu. Karena komitmen mereka Indonesia adalah negara bangsa, maka ketika Mr Maramis akan memisahkan diri  jika 7 suku kata dalam pembukaan UUD 45  (piagam Jakarta) tidak dihapus, semua founding father waktu itu tersadarkan, kemudian luruh hatinya untuk lebih mengutamakan NKRI. Dan dihapuslah 7 suku kata itu.

Sekarang ini sudah tidak  ada yang faham tentang konsensus ini. Sehingga pemerintah masih membutuhkan payung hukum hanya untuk menindak gerakan yang nyata nyata berhadapan denagan Pancasila dan UUD 45. Kalau negeri ini negara Islam, silahkan rakyat boleh tidak terima dan menganeksasi pengadilan. Tapi negara ini negara Pancasila. Maka bukan hukum Islam yang diterapkan dalam kehiduapan bernegara dan berbangsa.

Jadi  jelas sudah, bahwa siapa yang anti pancasila dan sengaja akan menjungkirkan serta  mencoba kesaktian pancasila dengan menawarkan ideologi Islam, mengganti sistem konstitusi  dengan Khalifah. Tunggu apa lagi ?. Kalau memang tidak setuju dengan Pancasila dan UUD 45, kenapa tidak migrasi ke Arab saja?. Sehingga bisa bebas menerapkan hukum yang dikehendaki.

Bagi saya, kalau sekaliber Hadratusy Syeikh Hasyim asy A'ri yang telah terbukti menggelontorkan resolusi jihad demi menjaga kemerdekaan RI, dan memerintahkan santrinya melawan tentara sekutu sehingga muncul peringatan hari Pahlawan, bisa toleran terhadap sesama dan menerima NKRI sebagai sebuah solusi bersama. Maka janganlah coba coba budaya luhur ini digantikan dengan kebrutralan dan aroganitas. Masyarakat NU masih menunggu. Dan kalau memang tidak ada jalan lain, jangan heran kalau nanti demi keutuhan NKRI muncul resolusi jihad terhadap Wahabi dan kelompok kelompok radikal lainnya.

Akhirnya, mari kita semua ud'u ilallah bil hikmah wa mauidlotul khasanah. Jangan gunakan kekerasan. Negeri ini ada aturannya. Jangan jadi polisi sendiri, jadi hakim sendiri, jadi tentara sendiri. Semua orang dikaruniai keberanian oleh Allah. Hanya bedanya, ada yang pakai aturan atau aqidah dan ada yang berlabel aqidah tapi ora genah.

oleh : KH Nuril Arifin Husein

Pengasuh Pesantren Abdurahman Wahid Soko Tunggal
Ketua umum Forum Keadilan dan Hak Azasi Umat Beragama se Indonesia
Ketua Dewan Syuro Gubrak Indonesia

Minggu, 26 Agustus 2012

Gerakan Syiah di Indonesia


Syi’ah yang berkembang di Indonesia dapat dibedakan kedalam dua corak, yakni Syi’ah politik, dan Syi’ah non-politik. Syi’ah politik adalah mereka yang memiliki cita-cita politik untuk membentuk negara Islam, sedangkan Syi’ah non-politik mencita-citakan membentuk masyarakat Syi’ah. Syi’ah politik aktivitasnya menekankan pada penyebaran ide-ide politik dan pembentukan lapisan intelektual Syi’ah, sedangkah Syiah non-politik menekankan pada pengembangan ide-ide fikih Syi’ah.

Syi’ah non-politik atau Syi’ah fikih masuk ke Indonesia sejak awal abad 19, yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat, India, dan ulama-ulama dari Hadramaut. Salah satu tokohnya yang membawa masuk ke Indonesia adalah Habib Saleh Al-Jufri, mantan panglima perang Syarif Husen, kakek  dari Raja Husen Yordania, yang dikalahkan oleh Abdul Aziz, bapak dari Raja Abdullah Arab Saudi. Syi’ah yang mereka bawa ke Indonesia pada gelombang ini adalah Syi’ah Zaidiyah. Pada awalnya cara dakwahnya dilakukan secara individu-individu, kemudian, sejak kemerdekaan beberapa tokoh dari mereka membentuk pesantren, salah satunya adalah Husen Al-Habsyi, mendirikan Pesantren YAPI di Bangil, Jawa Timur.

Sementara itu, Syi’ah politik masuk Indonesia baru kemudian, yaitu sejak pecahnya Revolusi Iran tahun 1979. Jika Syi’ah fikih mengembangkan dirinya melalui dukungan swasta, sebaliknya Syi’ah politik mendapat dukungan resmi dari pemerintah Iran. Namun demikian sejak revolusi Iran, Syi’ah fikih juga mendapatkan dukungan resmi dari pemerintah.

Strategi dakwah Syi’ah politik pada awalnya menggunakan pendekatan kampus. Beberapa kampus yang menjadi basisnya adalah Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas Jayabaya Jakarta, Universitas Pajajaran (Unpad) Bandung, dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun karena gagal dan kalah berkembang dengan kelompok Ihwan, akhirnya pada tahun 1990-an strateginya diubah. Kini kelompok Syi’ah keluar dari kampus dan mengembangkan dakwahnya langsung ke tengah masyarakat melalui pendirian sejumlah yayasan dan membentuk ormas bernama IJABI (Iakatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia). Yayasan-yayasan itu sebagian mengkhususkan pada kegiatan penerbitan buku, sebagian lainnya membangun kelompok-kelompok intelektual dengan program beasiswa ke luar negeri (ke Qum, Iran) dan sebagian lagi mengembangkan kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan.

Sejauh yang dapat diketahui, generasi program beasiswa ke Qum, Iran, yang pertama adalah Umar Shahab dan Husein Shahab. Keduanya berasal dari YAPI, Bangil, dan pulang ke Indonesia tahun 1970-an. Kedua tokoh inilah yang mengembangkan Syi’ah dikalangan kampus pada awal 1980-an. Tidak banyak yang berhasil dikader dan menjadi tokoh. Dari UI misalnya, diantaranya adalah Agus Abubakar dan Sayuti As-Syatiri. Dari Universitas Jayabaya muncul Zulfan Lindan, dan dari ITB muncul Haidar Bagir. Namun perlu digarisbawahi, di luar jalur kedua tokoh diatas, pada pertengahan 1980-an muncul Jalaluddin Rahmat sebagai cendekiawan Syi’ah.

Namun seiring berhasilnya revolusi Islam di Iran, sejak 1981 gelombang pengiriman mahasiswa ke Qum mulai semakin intensif. Generasi alumni Qum kedua inilah yang sekarang banyak memimpin yayasan-yayasan Syi’ah dan  menjadi pelopor gerakan Syi’ah di Indonesia. 

Kini, gerakan Syiah di Indonesia diorganisir olehl Islamic Cultural Center (ICC), dipimpin Syaikh Mohsen Hakimollah, yang datang langsung dari Iran. Secara formal organisasi ini bergerak dalam bidang pendidikan dan dakwah. ICC Jakarta dibawah kendali dan pengawasan langsung Supreme Cultural Revolution Council (SCRC) Iran.

Di bidang pendidikan ICC mengorganisir lembaga-lembaga pendidikan, sosial dan penerbitan yang jumlahnya sangat banyak dan bertebaran diberbagai daerah. Sedangkan dibidang dakwah, ICC bergerak di dua sektor, pertama, gerakan kemasyarakatan, yang dijalankan oleh Ikatan Jamaah Ahlul Bait (IJABI), kedua, gerakan politik, yang dijalankan oleh yayasan OASE. Yayasan ini mengkhusukan bergerak dibidang mobilisasi opini publik. Sedangkan untuk bidang gerakan politik dan parlemen dikomandani oleh sejumlah tokoh. Strategi politik parlementer yang mereka tempuh ini dilakukan dengan cara menyebarkan kader ke sejumlah partai politik.

Mengenai IJABI sebagai motor gerakan kemasyarakatan, hingga sekarang strukturnya telah meluas secara nasional hingga di Daerah Tingkat II. Tentu format yang demikian dapat  menjadi kekuatan efektif untuk memobilisasi pengaruh dan kepentingan politik. Kader-kader IJABI selain telah banyak yang aktif di dunia kampus, kelompok-kelompok pengajian, lembaga-lembaga sosial dan media, di daerah-daerah juga telah banyak yang menjadi anggota parlemen. Di level daerah inilah IJABI memiliki peranan penting sebagai simpul gerakan dakwah dan politik di masing-masing daerah.

Marja Al Taqlid dan Sayap Militer Syiah
Dewasa ini Syiah Indonesia sedang berupaya membuat lembaga yang disebut Marja al-Taqlid, sebuah institusi kepemimpinan agama yang sangat terpusat, diisi oleh ulama-ulama Syiah terkemuka dan memiliki otoritas penuh untuk pembentukan pemerintah dan konstitusi Islam. Di beberapa negara yang masuk dalam kaukus Persia lembaga itu telah berdiri kokoh dan memainkan peran yang efektif dengan kepemimpinan yang sangat kuat. Di Irak misalnya, lembaga Marja Al Taqlid dipimpin oleh Ayatollah Agung Ali al-Sistani.

Lembaga Marja Al Taqlid, selain berfungsi menyusun dan mempersiapkan pembentukan pemerintahan dan konstitusi Islam, juga berfungsi menyusun prioritas-prioritas pemerintah, termasuk pembentukan sayap militer yang disebut amktab atau lajnah asykariyah. Selama Marja al Taqlid ini belum terbentuk maka pembentukan maktab askariyah pun pastilah belum sistematis dan terstruktur.

Penulis : H. As’ad Said Ali
*Wakil ketua umum PBNU

Sumber :
http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/4/32380/Kolom/Gerakan_Syiah_di_Indonesia.html

Kiprah Gus Dur Membela Tionghoa

Oleh: Munawir Aziz*

Judul Buku     : Bapak Tionghoa Indonesia
Penulis            : MN Ibad dan Akhmad Fikri AF
Penerbit         : LKIS, Yogyakarta
Cetakan          : I, 2012 
Tebal              : x + 170 hal.

Sudah lebih dari dua tahun KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wafat, namun karya-karya yang membahasnya masih terus bermunculan. Gus Dur-dalam bahasa Ulil Abshar Abdalla-merupakan "teks yang seksi". Kiprah dan kebijakan Gus Dur semasa hidupnya banyak memberi inspirasi bagi warga lintas etnis, agama dan golongan. Dari sudut pandang itulah, buku "Bapak Tionghoa Indonesia" ini ditulis. Buku anggitan MN Ibad dan Akhmad Fikri AF ini secara spesifik menelaah pikiran dan kebijakan Gus Dur dalam relasinya dengan etnis Tionghoa.

Kiprah Gus Dur sangat dirasakan oleh warga Tionghoa di Indonesia. Ketika menjabat sebagai presiden, Gus Dur mengeluarkan PP. No 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres no. 14 tahun 1967. Kebijakan Gus Dur membuka kran kebebasan budaya dan agama bagi masyarakat Tionghoa Indonesia, yang sebelumnya terkekang oleh represi penguasa Orde Baru. Peran Gus Dur ini mengembalikan eksistensi warga Tionghoa di Indonesia. Tradisi, kepercayaan, dan pandangan hidup warga Tionghoa di Indonesia kembali terangkat. Kebijakan Gus Dur ini menjadi bagian dari politik identitas, untuk mencipta harmoni keindonesiaan.

Bapak Tionghoa

Atas sumbangsih Gus Dur, pada 10 Maret 2004, kelompok keturunan Tionghoa di Semarang, klenteng Tay Kek Sie mengangkat dan menahbiskan mantan presiden RI tersebut sebagai "Bapak Tionghoa Indonesia". Secara garis besar, alasan penobatan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia, dapat diteropong dari empat sudut pandang; perjuangan Gus Dur dari sisi kewarganegaraan kelompok keturunan Tionghoa, keteladanan Gus Dur dalam memperlakukan kelompok keturunan Tionghoa, serta sisi pelengkap yang masih berupa kontroversi, yaitu pengakuan Gus Dur sebagai keturunan Tionghoa, dari marga Tan (hal. 123).

Penahbisan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa memang menjadi perdebatan, ada yang mendukung, namun juga ada yang mencibir bahwa Gus Dur hanya mencari popularitas. Apalagi, jejaring komunitas dan ekonomi Tionghoa menjadi sangat penting di Indonesia, khususnya sebagai pendukung politik. Pendapat yang terakhir ini dapat dipatahkan, sebab pada kenyataannya, Gus Dur tak hanya memihak pada kelompok Tionghoa semata. Namun, secara luas berpihak pada kaum lemah (mustadh'afin) dan pihak-pihak yang selama ini mengalami perlakuan marginal, lintas budaya dan agama.

Jika ditelusuri lebih detail, Gus Dur sebenarnya mendasarkan keyakinan perjuangan untuk membantu warga yang lemah dan margnial, bersumber pada keyakinan teologis.

Gus Dur berpijak pada pandangan universal tentang kedamaian dan humanisme universal.


Humanisme universal

Pandangan Gus Dur dalam mendasari nilai universalismenya, yang membuat berbeda dengan para pemikir dan pemimpin umat Islam kebanyakan adalah dalam memahami ayat, "udkhuluha fi as-silmi kaffah" (QS al-Baqarah [2:208]). Berbeda dengan tokoh lain yang menganggap as-silmi sebagai "Islam", Gus Dur dalam hal ini memandang as-silmi kaffah sebagai kedamaian secara penuh, yang membawa pada keberadaan universal dan tidak perlu diterjemahkan pada sistem-sistem tertentu, termasuk kepada Islam. Karena ayat tersebut mengajak kepada kedamaian umat manusia (hal. 94-5).

Lebih lanjut, Gus Dur (dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita, 2006: 4) dalam memandang keislaman lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar untuk menjadi ‘muslim yang baik'. Sebagaimana diajarkan dalam ayat-ayat al-Qur'an bahwa ada lima syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi muslim yang baik: yaitu menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak saudara, anak yatim, kaum miskin), menegakkan profesionalisme, dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan.

Dari perspektif inilah, keberpihakan Gus Dur pada warga Tionghoa dapat dicari raison d'etre-nya. Buku "Bapak Tionghoa Indonesia" ini penting sebagai referensi yang mengulas relasi Gus Dur dengan warga Tionghoa, bahkan secara luas membuka kajian tentang relasi pesantren dan Islam dengan etnis Tionghoa. Namun, ada beberapa kesalahan kecil, yang menandaskan buku ini terbit tergesa, semisal salah ketik di beberapa halaman (semisal hal. 111, 117), tak menyebutkan sumber, dan mengulang keterangan (hal. 120). Namun, beberapa kesalahan itu tak mengurangi bobot buku ini. Buku ini menjadi referensi penting lintas pembaca.

Munawir Aziz, Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta.  santri di pesantren Krapyak, Yogyakarta.

Sumber : http://wahidinstitute.org

Rabu, 22 Agustus 2012

Banowati Selingkuh (Part 14)

“Anakku…” tutur Prabu Kurandageni kepada Herawati tatkala putri Salya itu tiba di istana Tirtakandasan dengan di iringi kekasih tercintanya Kartawiyaga.

“Aku menerimamu di sini bukan berarti aku berniat menghina orang tuamu. Jika bukan karena kalian sudah saling mencinta, manalah berani orang tua sepertiku mengganggu ketenangan ayahmu Prabu Salya” lanjut Kurandageni merendahkan suara untuk mengambil hati sang calon menantu.

“Saya mengerti, paman” kata Herawati, “saya justru berterima kasih atas sambutan paman yang luar biasa ini. Jika bukan kepada paman, kemana lagi saya harus berlindung?”.

Kurandageni mengangguk.

“Pamanmu ini tidak habis pikir anakku. Bukankah menjadi permaisuri Hastinapura adalah impian semua wanita ?. Tapi kenapa justru kamu memilih Kartawiyaga yang statusnya hanya bangsa rendahan dan tak punya apa apa ?” pancingnya.

“Paman, setiap wanita di karuniai dua pilihan yang sama sama baik. Pertama menikah di saat yang tepat atau menikah dengan pria yang tepat. Dan saya memilih yang kedua” tegas Herawati yang di sambut dengan senyum mengembang sang Kurandageni.

“Dan kamu tahu resikonya ?”.

“Tentu, paman. Tapi saya berjanji tidak ingin merepotkan keluarga Tirtakandasan”.

“Oh, bukan begitu maksud paman” berhenti sejenak,” paman hanya ingin segala sesuatunya berjalan sesuai norma yang ada. Kalau bisa di upayakan dengan cara yang baik, kenapa dengan cara yang kurang baik?”.

Kali ini Herawati tertunduk. Ungkapan Kurandageni itu bagi Herawati terdengar seperti penolakan yang di perhalus.

“Ayahanda orangnya sangat keras hati. Sekali ia bilang tidak, susah sekali mengubahnya” keluh Herawati pasrah.

“Kalau ayah tidak bersedia menerima kami, biarkan Kartawiyaga membawa lari dinda Herawati kemana saja asal tidak mengganggu kenyamanan Tirtakandasan!” sela Kartawiyaga sedikit kecewa dengan sikap ayahnya.

“Ha ha ha…!” tertawa lepas.

“Karta…Karta…!. Apa ayahmu ini sudah kamu anggap benda mati sehingga kamu seenaknya saja berkata begitu ?. He…?”.

“Dengar!” ucap Kurandageni dengan nada tinggi.

“Yang ayah inginkan, kamu mengatakan secara jantan pada pamanmu Salya bahwa kamu menginginkan putrinya. Itu saja!”.

“Ah, mana mungkin ?” bantah Kartawiyaga.

“Kamu sudah mencobanya ?”.

“Paman Salya sudah pasti akan membunuhku”.

“Menurutmu begitu…”.

Kartawiyaga menatap penuh tanda tanya pada sang ayah.

“Selama Herawati di sini, tidak akan berani pamanmu Salya menyakitimu”.

Deg. Benar juga apa yang ayahnya katakan. Prabu Salya tak mungkin akan menyakiti dirinya kalau ia tahu bahwa putrinya berada di Tirtakandasan.

“Tapi bagaimana kalau paman Salya tetap tidak mau merestui kami, ayah ?” masih ragu ragu.

“Itu urusan nanti. Yang penting kamu harus menunjukkan dulu niat baikmu”.

Kartawiyaga berpaling ke arah Herawati yang duduk bersimpuh di sampingnya. Putri sulung Salya ini terlihat menggelengkan kepala seolah tidak percaya bahwa ayahnya akan begitu saja merelakan dirinya bersanding dengan Kartawiyaga.

“Ayah…?” protes Kartawiyaga, namun tatapan nanar sang ayah serta merta membuatnya terpaksa harus diam mendengarkan petuah lebih lanjut.

“Kamu anakku satu satunya. Jika memang apa yang sudah menjadi ketetapan hati kalian, ayahmu ini sama sekali tidak merasa keberatan untuk menghadapi resikonya. Mungkin ayah bukan tandingan pamanmu Salya, akan tetapi demi kau anakku. Demi kebahagiaan kalian, kematian bukan hal yang perlu di takuti!”.

Terlecut hati sang Kartawiyaga mendengar ucapan ayahnya yang begitu tulus tanpa pamrih. Makin tergugah hati Kartawiyaga untuk memenuhi keinginan ayahnya.

“Baiklah. Jika memang ayah menghendaki begitu, hari ini juga Kartawiyaga akan segera kembali ke Mandaraka. Titip dinda Herawati, ayah”.

Setelah berpamitan kepada ayahnya dan Herawati, tanpa menunggu waktu lebih lama lagi putra mahkota Tirtakandasan itu segera bersiap berangkat kembali ke Mandaraka.


Hampir setengah hari Basukarna terlihat mondar mandir di sekitar gubuk di mana ia meletakkan tawanan istimewanya, Surtikanthi. Sesekali ia melongok ke dalam gubuk guna memastikan anak Salya yang ia anggap sebagai Banowati itu masih ada di tempat. Otaknya berpikir keras, mau di apakan wanita cantik yang sekarang berada di tangannya itu ?. Tidak mungkin ia membiarkan terus menerus tawanannya itu dalam keadaan tidak sadar akibat kena totoknya. Jika menjelang sore ia tidak segera melepaskan Surtikanthi dari pengaruh ilmu totoknya, bisa jadi justru akan membahayakan keselamatan yang bersangkutan. Dia tetap harus melepaskan Surtikanthi. Tapi bagaimana menghadapi putri Salya itu ketika telah tersadar, itu yang masih membuat Basukarna ragu ragu. Tentu Surtikanthi akan segera mengenalnya. Dan apa jadinya jika di awal ia sudah terlanjur mengaku sebagai Permadi, nyatanya justru bukan ?. Padahal niat awalnya ia ingin membuat nama Permadi tercemar.

Basukarna melangkah ke dalam gubuk dimana Surtikanthi masih tergolek lemas di atas pembaringan. Di pandanginya tubuh berbalut pakaian berwarna kuning keemasan itu dengan nafas tertahan. Untuk kesekian kalinya jantung Basukarna berdetak kencang manakala matanya menumbuk pada wajah ayu Surtikanthi. Ada rasa aneh yang terus menerus menggugah hatinya. Entah mengapa sejak melihat wajah Surtikanthi, timbul rasa suka dalam diri Basukarna ?. Berkali kali ia berusaha menepis, tapi berkali kali pula ia gagal meredam gemuruh perasaannya.

Tanpa sadar Basukarna beringsut mendekat pada Surtikanthi. Di sentuhnya perlahan tubuh montok di hadapannya. Debar jantungnya tak henti hentinya berpacu manakala jari jemari Basukarna menyentuh setiap lekuk tubuh Surtikanthi. Dan ketika pandangannya tertuju pada wajah cantik Surtikanthi, semakin tak terbendung keinginan adipati Awangga itu untuk menyentuh wajah nan ayu Surtikanthi.

“Bangun Banowati…” ucap Basukarna lirih.

Dan entah sadar atau tidak, tangan Basukarna tiba tiba bergerak mengetuk beberapa saraf Surtikanthi yang pada akhirnya membuka kesadarannya.

Perlahan tubuh yang tadinya lemah mulai menunjukkan tanda tanda kesadaran. Di awali dengan gerakan jari jarinya, merembet ke tangan, lalu sekujur tubuhnya dan kemudian matanya yang tertutup rapat perlahan terbuka. Tak ada reaksi dari sang Basukarna. Justru sepertinya pemuda Awangga ini malah menunggu tawanannya tersadar.

“Di mana aku ?” ucap Surtikanthi begitu tersadar. Beberapa kali ia mengucek ucek matanya, lalu menatap liar ke sekeliling. Dan begitu mendapati sosok asing di dekatnya, sontak ia bangkit dan beringsut menjauh.

“Siapa kamu ?” tanya Surtikanthi gelagapan. Tangannya refleks meraba raba pinggang. Berharap ada senjata yang terselip di sana. Tapi nihil.

“Tenang nona…tenang!” Basukarna bangkit dan berusaha mendekat.

“Jangan mendekat….jangan mendekat!” ancam Surtikanthi dengan tubuh menggigil ketakutan.

“Aku tidak bermaksud jahat, nona…”.

“Jangan bohong!” Surtikanthi tak percaya.

“Kamu yang menculikku dari keputren Mandaraka, bukan ?”.

“Oohh…” Basukarna tampak sedikit kebingungan.

“Bukan…bukan…!”.

“Bohong!” bantah Surtikanthi, “kembalikan aku ke Mandaraka…kembalikan!” lengkingnya marah. Di raihnya sebatang bambu sepanjang setengah meter yang berada di pojok ruangan. Serta merta ia menyerbu ke arah Basukarna, dan…

Brakk!!!

Batang bambu itu di hantamkannya ke dada Basukarna. Tak ada perlawanan sedikitpun bahkan tak terdengar teriakan kesakitan dari mulut Basukarna. Dan sepertinya Basukarna sengaja memberikan tubuhnya untuk jadi bahan pelampiasan kemarahan Surtikanthi. Makin jengkel Surtikanthi melihat keangkuhan pria di hadapannya, makin keras ia hantamkan bambu itu ke tubuh Basukarna. Namun bukan luka yang ia lihat, tapi batang bambu di tangannya justru hancur berkeping keping setelah berkali kali menghantam tubuh pria di depannya.

“Tenang nona, aku bukan penculik yang kamu maksud” ucap Basukarna berbohong.

“Aku…aku….Karna!”.

Surtikanthi melongo mendengar jawaban itu. Dia ingat betul bahwa penculiknya mengaku bernama Permadi, yang ia tahu nama itu adalah nama dari salah satu anggota Pandawa. Tapi pria di hadapannya ini mengaku bernama Karna.

“Bohong!. Penculiknya berbaju hitam seperti yang kamu pakai. Ayo ngaku !” todong Surtikanthi mulai berani.

Mati aku!. Gerutu Basukarna dalam hati. Kenapa ia lupa mengganti pakaiannya ?.

“Oh…ini kebetulan saja” jawab Basukarna sekenanya.

“Nggak percaya!. Kamu Permadi bukan ?”.

“Bukan…bukan..!. Aku Basukarna. Adipati Awangga. Orang kepercayaan Prabu Suyudana”.

Mendengar nama Suyudana di sebut, Surtikanthi mendadak berubah. Walaupun belum pernah berbicara langsung, tapi Surtikanthi telah mengenal raja Hastina itu ketika ia dan keluarganya menerima rombongan Hastinapura di istana Mandaraka dalam rangka melamar kakaknya Herawati.

“Kalau nona tidak percaya, aku bisa bawa kamu ke Hastina untuk menghadap gusti Suyudana” Basukarna meyakinkan.

Surtikanthi menatap dalam dalam ke wajah Basukarna. Sepertinya pria ini jujur. Pikir Surtikanthi.

“Tapi yang menculikku..”.

“Iya..iya…!. Ketika aku sedang menuju Mandaraka menyusul paman patih Sengkuni, aku mendapati Permadi sedang berlari membawamu. Aku lalu menghadangnya. Kami bertarung dan akhirnya aku bisa kalahkan dia” Basukarna mengarang cerita.

“Jadi….” Surtikanthi mulai percaya,” jadi tuan yang menyelamatkan Surtikanthi…?”.

Surtikanthi ?.

“Jadi namamu Surtikanthi ?. Bukan Banowati ?” Basukarna penasaran.

“Iya. Aku Surtikanthi. Banowati itu adikku. Kamu kenal dia ?”.

Ya Tuhan. Jadi selama ini aku salah orang. Dia bukan Banowati yang kata Aswatama sempat hendak di culik Permadi.

“Tidak. Aku tidak kenal Banowati. Hanya saja…”.

“Kenapa ?”.

“Hanya saja aku sempat mendengar cerita bahwa Permadi pernah hendak membawa lari adikmu Banowati. Untunglah tuan Aswatama berhasil menggagalkannya”.

“Apa ?. Kapan ?” Surtikanthi penasaran dengan cerita Basukarna.

“Loh…bukannya nona sudah tahu ?”.

Surtikanthi menggeleng. Pikiranya kini kembali mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu ketika ketika dua kali ia tidak menemukan Banowati di kediamannya. Entah peristiwa itu terjadi yang pertama atau yang kedua, yang jelas keterangan lelaki di depannya ini sungguh membuatnya mulai mengerti masalah yang sebenarnya.

“Oh..pantas saja Banowati sering tidak ada di tempat…”.

“Bisa jadi “potong Basukarna makin percaya diri.

“Bisa jadi itu ulah panengah Pandawa itu. Buktinya, nona juga hendak di bawanya lari ?”.

Surtikanthi menganggukkan kepala.

“Kita harus segera laporkan ini kepada ayahanda…” kata Surtikanthi seraya mengajak Basukarna keluar dari gubuk itu.

“Tunggu dulu nona!” Basukarna menahan.

“Kenapa ?”.

“Biar aku yang menghadap ayahandamu” saran Karna.

Bagaimanapun untuk sementara waktu ia harus menahan Surtikanthi agar tidak kembali ke Mandaraka sebelum usaha patih Sengkuni dan Aswatama membujuk Prabu Salya guna menghukum Permadi berhasil.

“Sangat berbahaya jika nona kembali ke Mandaraka”.

Surtikanthi tertegun tak mengerti maksud Basukarna.

“Permadi begitu berhasrat menculik nona, aku takut ia akan kembali menyakiti nona kalau tahu nona ada di Mandaraka”.

“Hemm…” dehem Surtikanthi. “Masuk akal. Tapi kalau tuan ke sana, bagaimana denganku ?”.

“Itu gampang. Nona bisa istirahat di Awangga. Biar orang orangku nanti yang menjaga nona. Aku jamin Permadi tidak akan berani menginjakkan kaki di Awangga”.

“Benarkah ?”.

Basukarna mengangguk.

Akhirnya dengan mengendarai kuda sakti kyai Gagak Rimang pemberian Dewa Surya, Basukarna membawa Surtikanthi pergi ke Awangga. Sesampai di Awangga, Surtikanthi di tempatkan di kediaman Basukarna dengan mendapatkan pelayanan istimewa. Basukarna yang mulai tertarik dengan Surtikanthi sepertinya tak mau kehilangan kesempatan untuk menjerat hati Surtikanthi. Segala fasilitas mewah di berikan pada tamu istimewanya ini. Makanan yang melimpah, pelayan yang ramah dan beraneka hiburan yang membuat Surtikanthi makin merasa betah di Awangga.

Bersambung...

oleh : Ki Dainx Dalang Gubrak

Minggu, 19 Agustus 2012

Trik Internet Gratis Operamini Handler Modif Terbaru

Trik Internet Gratis Operamini Handler Agustus 2012
Gretongan Operamini Modif Terbaru
Proxy Gratis Opmin Handler Opmod Ophand

Cara internet gratis telkomsel
proxy: 141.0.11.253
port: 80

Setting operamini handler cersi 4 5 6 7 next
proxy type: http
proxy server: m.yahoo.com

Trik Internet Gratis Operamini Handler Modif Terbaru

Jumat, 17 Agustus 2012

Semangat Kebangsaan NU untuk Indonesia Masa Depan


Oleh : Dedy Mulyadi, Bupati Purwakarta

Sejarah panjang Republik Indonesia diwarnai dengan pergulatan budaya, ideologi, hingga kepentingan paham dalam beragama. Dan, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran yang sangat vital dalam proses ini.

Kita tahu, dalam sebuah transisi, termasuk kemerdekaan sebuah bangsa, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang merupakan bagian dari hegemoni kekuasaan dengan mengatasnamakan perubahan dan peradaban -— selalu disertai dengan kepentingan. Setiap penyebaran nalar Ideologis, pasti dipengaruhi unsur subjektivitas, yang hampir pasti memiliki nilai politis ataupun ekonomis, yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang.

Tapi, NU tampaknya dapat mengesampingkan itu dengan prinsip untuk menegakkan semangat Keindonesiaan tanpa menghilangkan nilai-nilai keislaman. Dalam konteks persiapan kemerdekaan, wacana mengenai dasar negara menjadi perdebatan yang sengit. Salah satunya mengenai dimasukkan atau tidaknya kata-kata syariat Islam.

Dalam perspektif NU, Islam merupakan manifestasi nilai-nilai yang universal. Namun, secara historis, Islam memang lahir di kawasan Arab, yang secara otomatis membawa budaya Arab di dalamnya.

Meski demikian, para pendiri NU, termasuk KH Hasyim Asy’ari menilai bahwa Indonesia (yang saat itu baru akan didirikan) memiliki keragaman identitas kultural, mulai dari Jawa, Sunda, Betawi, Melayu, Batak, dan lain sebagainya.

Keragaman ini belum tentu dapat langsung berasimilasi dengan budaya Arab yang turut terbawa dalam ‘ajaran’ Islam. Untuk itu, NU menentang dimasukkannya tujuh kata yang termaktub pada Piagam Jakarta ke dalam Pancasila. Ketujuh kata itu adalah ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.

Penghilangan tujuh kata tersebut, dalam perspektif para pendiri NU, merupakan bagian dari Sunnah Rasulullah SAW tatkala membuat perjanjian dalam Piagam Madinah. Di sini terlihat peran NU dalam menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah negara berketuhanan, yang tetap memegang teguh Syariat Islam, tanpa menjadikannya sebagai sebuah negara Islam.

Di sini terlihat, pluralitas NU, bukan hanya Pluralitas Islam Universal, tetapi juga Pluralitas Islam Indonesia, yang mencerminkan dialektika bangsa yang demokratis dan modern. NU memang didirikan untuk menjaga keutuhan bangsa. Bagi kalangan pesantren, NU bukan sebatas organisasi belaka, melainkan jiwa dan napas masyarakat Indonesia pada umumnya. NU berkontribusi dalam memelihara keragaman suku, bahasa, dan agama. Sederhananya, keragaman itu bagi NU adalah karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk bangsa Indonesia.

Peran NU ini telah membumikan Islam menjadi agama pribumi, dengan identitas keragaman Indonesia. Pada aspek lain, kita telah melihat, sejarah panjang kontribusi NU  yang sangat paham terhadap semangat kebangsaan, sehingga mampu membangun kerukunan ideologis, dan sikap tegas terhadap hegemoni kolonialis.

Dalam perspektif kedepan, tentunya semangat itu, harus mampu di manifestasikan dalam upaya membangun kesadaran berbangsa, dalam mewujudkan rasa keadilan di masyarakat. Sejarah NU adalah sejarah tawaran, bagi akselerasi ideologi dalam masa lalu, dan harus menjadi nilai tawar, untuk membangun nasionalisme kerakyatan, yang lebih luas untuk mewujudkan masyarakat yang adil sejahtera.

NU pun tentunya diharapkan mampu membangun semangat keadilan di masa kini dan masa depan. Pasalnya, semangat keadilan merupakan ideologi terkini, yang menjadi senjata ampuh untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Dan memang, tradisi NU, sejak dulu, adalah mewujudkan nilai-nilai harmonis, kompromis, tapi antihegemonis dan kapitalis.

Dialektika ideologi pembaharuan dan visi berpikir NU yang sukses dalam sejarah Indonesia, saat ini harus mulai diarahkan pada membangun akselarasi politik harmonis antara masyarakat dan negara. Proses advokasi penyadaran keberpihakan negara terhadap masyarakat dalam sistem negara terbuka harus mampu diperankan NU di tengah kebuntuan kompromi politik saat ini.

Apatisme masyarakat dan agresivitas elite, baik yang pro dan kontra, dalam panggung politik, hanya akan melahirkan peperangan dalam panggung kosong. Penonton tidak memiliki ketertarikan, lantaran berbagai lakonnya, dicurigai, sarat dengan berbagai kepentingan dalam dan luar. Hal tersebut sangat berbahaya bagi pembentukan civil society,  karena elitisasi semangat kebangsaan hanya akan melahirkan rumah megah tanpa penghuni, yang dalam budaya kita disebut rumah hantu.

Sumber : http://www.republika.co.id

Jejak Sekulerisme di Reruntuhan Peradaban Islam


Oleh Nasrudin Banget

Berbicara mengenai posisi agama (Islam) dalam kehidupan masyarakat ada tiga pandangan yang berbeda[1]. Pertama, mereka yang meyakini bahwa Islam merupakan seperangkat ajaran yang sempurna; membahas semua hal, termasuk politik, kehidupan sosial, dan sebagainya. Karenanya, pemerintahan yang sah adalah pemerintahan yang berlandaskan ajaran Islam. Tujuan pendirian negara, karenanya, adalah demi terlaksananya hukum Tuhan dalam kehidupan. Pendapat ini dikomandoi oleh Syeikh al Mawardi[2], Sayyid Qutb, Hasan al Banna dan ulama fundamentalis lain.

Pandangan kedua — yang lebih moderat— meyakini bahwa Nabi dan Khulafaur Rasyidin tidak meninggalkan sistem pemerintahan yang baku bagi Islam. Karenanya, tak ada model pemerintahan Islam dalam ajaran dan tradisi Islam itu sendiri. Meski demikian, Nabi telah meninggalkan nilai-nilai dasar yang akan sangat berguna bagi perjalanan umat manusia ke depan. Dengan berpijak pada nilai-nilai ini, umat Islam dapat membangun pemerintahan yang sesuai dengan locus dan tempus. Muhammad Husein Haikal mencetuskan ide ini[3].

Pandangan yang terakhir sangat ekstrem. Mereka meyakini al islam syaiun wa ad dawlah syai un.[4] Bahwa Islam dan politik, dengan demikian, masing-masing merupakan entitas yang berdiri sendiri, punya lahan garapan yang tidak bisa dicampuradukkan begitu saja. Pandangan ini digulirkan oleh sastrawan Mesir Taha Husein[5], dan Syaikh Ali Abdur Raziq[6].

Sekularisme dalam Semiotika Arab

Untuk mensubstitusikan kata secularism (Inggris) atau secularete (Perancis), tampaknya tidak dijumpai kata yang pas dalam bahasa Arab. Karena sebuah penanda, hadir melalui dan melewati sejumlah sejarah yang sangat erat dengannya[7]. Ini memberikan kekhasan yang tak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi, setiap kata memiliki rasa dan tinanda yang kebanyakan tidak dimiliki oleh kata lain, meski dari tradisi dan bahasa yang sama.[8] Perbedaan ini akan semakin mencolok manakala dua kata itu berasal dari dua tradisi dan latar belakang yang jauh berbeda.

Akan tetapi, selama ini ada beberapa kata yang lazim digunakan sebagai pengganti kata secularism dalam bahasa Arab. Salah satunya adalah kata ad Dahriyah. Asal kata ini, ad dahr selaras dengan akar kata secularism yakni saeculum yang sama-sama bermakna masa, abad, atau generasi. Namun, dalam perjalanannya, kata ad Dahriyah mengalami proses peyorasi. Pada akhir abad ke-18, ad Dahriyah kemudian memiliki rasa negatif lantaran diidentikkan dengan atheis dan materialis:[9] mengakui keabadian dunia dan mengabaikan akhirat.

Kata lain yang sekarang populer digunakan adalah al ‘a/ilmaniyah. Pada penulisannya di buku-buku dan artikel, huruf ‘ain dalam kata al ‘a/ilmaniyah tidak berharakat. Hal ini menimbulkan beberapa pembacaan yang tentunya berimplikasi pada perbedaan pemahaman dalam memaknai sekularisme. Karenanya, kerancuan ini hanya terjadi dalam bahasa Arab saja. Dalam bahasa Indonesia —yang hanya menyerap kata “secularism” dari bahasa Inggris dengan mengambil pelafalannya saja— tak dijumpai masalah ini.

Jika huruf 'ain dalam kata tersebut dibaca fathah, maka kata al ‘Almaniyah sering dipahami sebagai merupakan turunan kata ‘alam. Kata ‘alam justru merujuk kepada alam (science) yang (agak) jauh dari makna saeculum. Akan tetapi, saeculum juga bisa bermakna alam yang ada dalam rentangan waktu, berbeda dengan kata denum atau mundus —yang meski juga berasal dari bahasa Latin— bermakna alam yang kekal dan bebas dari batasan waktu. Yang agak susah adalah kenyataan bahwa kata ‘alam tidak memiliki tinanda berupa ‘kaitan dengan waktu’. Jika demikian, al ‘Almaniyah lebih tepat bila menjadi alih bahasa dari kata scientific.[10]

Ketika huruf ‘ain dalam kalimah tersebut berharakat kasrah, sebagaimana pembacaan dalam kamus al Mawrid[11], maka ada beberapa kerancuan yang muncul. Karena kata al ‘Ilmaniyah (dianggap) berasal dari kata ‘ilm (ilmu). Maka pemahaman yang mengemuka mengenai makna sekularisme adalah suatu paham yang ingin mengetengahkan kembali ilmu pengetahuan yang (seolah-olah) perkembangannya dibatasi oleh agama.[12]

Namun, jika merujuk pada makna sekularisme yang dipahami sebagai paham yang mengetengahkan dan mengutamakan ‘yang selain agama’ maka ada beberapa istilah yang kiranya sedikit lebih logis. Salah satunya adalah ad Dunyawiyyah. Kata ini digunakan tidak sebagai opposite bagi ukhrawiyah melainkan opposite bagi kata ad Diiniyah. Atau seperti usulan Dr. Ali Lagha dengan istilah al La Diiniyah yang ia gunakan sebagai antonim bagi kata Diin (religion).[13]

Akar Sekularisme dalam Tradisi Islam

Mulanya, tak ada yang mempermasalahkan hubungan khusus antara Islam dan politik. Keduanya hidup rukun dan tenteram dalam satu rumah tangga. Orang-orang baru mempermasalahkan hubungan tersebut pada sekitar abad ke-18. Pada abad ini dan abad ke-19, upaya beberapa daerah untuk memerdekakan diri dari kekhalifahan Turki Utsmani mulai menguat, utamanya di sekitar Timur Tengah. Beberapa kawasan si Arab Selatan mulai menggalang kekuatan bawah tanah. Di antaranya adalah Utsman bin Hammad dan Muhammad bin Saud dari Jazirah Arabia.

Gerakan ini juga cukup terasa di Lebanon: negara dengan komposisi warga yang unik. Jumlah umat Muslim dan Nasrani Maronis seimbang. Namun, pucuk pimpinan ada di tangan Nasrani Maronis. Sementara itu, gerakan purifikasi Islam sedikit demi sedikit telah nampak di Lebanon. Di satu sisi, bangsa Lebanon menginginkan kemerdekaan dari Turki Utsmani. Namun, di sisi yang lain, Lebanon dalam kondisi yang cukup sulit. Kendati kemerdekaan telah ada di tangan, masalah tak selesai begitu saja. Perbedaan kepentingan antara Islam dan Nasrani bisa menajam dan rawan konflik sipil-saudara.

Adalah Boutros al Busthani, seorang intelektual Maronis Lebanon yang cukup paham akan hal ini. Dalam keadaan yang cukup sulit itu, harus ada satu jalan yang bisa digunakan demi merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari kekhalifahan Utsmani yang sudah sakit itu (The Sick Man of Europe). Demikian ungkap Abid al Jabiri yang dikutip Ahmad Baso.[14]

Al Busthani menarik sebuah kesimpulan bahwa sekularisme merupakan jalan keluar yang cukup bagus. Ketika agama (Islam) dikembalikan ke wilayah asalnya, maka Khalifah Turki Utsmani akan kehilangan salah satu kaki penyangga legitimator. Karenanya, umat Islam akan bisa bersatu bersama Nasrani Maronis untuk melawan dan melepaskan diri dari Turki Utsmani.

Lebih lanjut, jika masalah agama (Islam dan Kristen) dikembalikan ke wilayah asalnya, maka antara kaum Muslim dan umat Nasrani tak perlu ada perbedaan mencolok dalam hal sistem pemerintahan yang hendak dibentuk. Karena bagaimanapun juga, bangsa Lebanon adalah bangsa yang berasal dari satu nenek moyang. Hanya saja, karena sentuhan beberapa budaya dan agama, terjadi perbedaan.

Nah, latar belakang al Busthani yang Nasrani inilah yang menimbulkan kecurigaan mendalam akan adanya gerakan umat Kristiani untuk membendung dan menghacurkan Islam (secara global) dengan pélan-pelan. Apalagi, al Busthani di kalangan umat Muslim Lebanon dikenal sebagai tokoh kristenisasi kelas kakap. Tak pelak, gagasan al Busthani tersebut dianggap sebagai ancaman terhadap eksistensi Islam di kehidupan ini.

Sebagai tandingannya, muncullah slogan Islam din wa dawlah[15], kata beberapa ulama Islam. Istilah ini cukup tendensius. Pada masa Nabi, belum pernah terdengar suara semacam ini. Slogan di atas semakin santer setelah kelompok ‘Islam kanan’ secara terang-terangan mengkampanyekannya. ‘Genderang perang’ pun ditabuh. Sebagai counter-nya, gerakan yang mendukung negara sekular tak kalah seru.

Secara umum, gerakan sekular, baik dalam bentuk pemikiran maupun praksis, semakin gencar dan (seolah-olah) konfrontatif semenjak keruntuhan lembaga Khalifah Utsmani di semenanjung Anatolia (Turki) pada 1924 M. Setahun kemudian, di Mesir, Syeikh Ali Abdur Raziq meluncurkan kitab kontroversialnya yang bertajuk “al Islam wa Ushul al Hukm”.[16] Dalam buku ini, ia menulis bahwa pemerintahan (kepemimpinan) Muhammad saw di Madinah merupakan tugas yang terpisah dari dakwah Islam dan tugas kerasulannya.[17]

Jika ditarik (sedikit) ke belakang, maka gerakan sekular ini merupakan reaksi atas kegagalan Islam dalam membentuk dan mempertahankan sistem pemerintahan (khilafah) —yang oleh sebagian besar umat Islam— diakui sebagai warisan Islam yang harus dijalankan. Apalagi, jika dibandingkan dengan Barat, kondisi umat Islam saat itu (hingga sekarang) masih cukup menyedihkan. Ini sangat kontras dengan kondisi kejayaan Islam pada abad pertengahan di kala Eropa masih berada dalam abad kegelapan.

Selain itu, kebangkitan Barat sebagai kampiun dunia sangat menarik perhatian umat Islam. Ali Abdur Raziq misalnya, ia begitu kagum dengan kemajuan yang dialami bangsa Barat, terutama Inggris saat ia belajar ilmu politik dan ekonomi di Oxford University.[18] Sama halnya dengan Muhammad Husein Haikal yang begitu terpesona dengan Perancis saat ia mengambil gelar doktor di Universitas Sorbonne, Perancis.[19] Sehingga, sebetulnya kalau boleh dikatakan, tujuan para intelektual tersebut adalah memajukan umat Islam melalui pembenahan dari dalam ajaran Islam itu sendiri.

Akan tetapi, cara berpikir yang menggunakan metodologi made in western, dan tolok ukur bangsa Barat, para pemikir ini, oleh sebagian kalangan, dianggap hanya sebagai antek-antek Barat (baca: Yahudi dan Nasrani). Mereka dicap sebagai orang yang hanya bisa membeo saja atas apa yang didiktekan oleh Barat. Kesan ini semakin kental manakala mereka mengetahui bahwa para pemikir itu menyelesaikan pendidikan di Barat. Semakin lekatkan kesan ‘beo’ bagi para pemikir itu. Hal ini banyak disinggung oleh Muhammad Imarah yang kemudian dikutip Yusuf Wijaya[20]. Tegasnya, sekularisme merupakan upaya ghazwul fikr (perang pemikiran) terhadap Islam. Tujuannya adalah menggeser Islam dari peradaban.[21]

Ketakutan ini tampak jelas pada beberapa pemikir. Dr. Ali Lagha misalnya, dengan tegas menyatakan bahwa sistem sekular tidak akan pernah bisa diterapkan dalam Islam. Ia menolak mentah-mentah. Dalam pandangannya, sekularisme bertujuan menjadikan sebuah tatanan kehidupan baik sosial maupun individu yang tidak berdasarkan pada ajaran agama[22]. Lebih lanjut, ia meyakini bahwa sekularisme akan mengalihkan perhatian manusia dari akhirat ke dunia belaka.[23] Itu ekspresi ketakutan yang berlebih.

Sementara itu, ternyata, bila kita mau merujuk jauh ke belakang, sebetulnya Islam mempunyai sejarah yang karenanya mengharuskan diterapkan sekularisasi. Setidaknya, dijumpai banyak alasan kenapa sekularisasi menjadi jalan keluar yang rasional dalam menghadapi berbagai masalah yang selama ini menghimpit umat Islam. Hanya saja, sebagian besar kita tidak mengakui akan hal ini.

Salah satunya datang dari Nabi sendiri. Muhammad Saw ‘berani’ berhijrah ke Yatsrib, selain untuk menghindari kekejaman Quraysh Makkah, juga karena telah mendapatkan suaka politik, jaminan sosial dan keamanan jiwa-raga-harta dari penduduk Yatsrib. Mengapa demikian? Tentunya, karena penduduk Yatsrib ada ‘mau’ dengan Nabi.

Ketika musim haji, banyak warga Yatsrib yang berhaji ke Makkah. Sebagian besar di antaranya mengakui dan menerima kerasulan Muhammad saw. Mereka biasa berkumpul di rumah salah satu sahabat Nabi yang bernama al Arqam.[24] Di tempat inilah, mereka menyampaikan jaminan suaka dari masyarakat Yatsrib kepada Nabi dan para sahabatnya.

Ketika Nabi datang, penduduk Yatsrib dengan suka cita menyambutnya.[25] Tak berselang lama, melalui permusyawarahan yang sangat egaliter dan demokratis, Muhammad —yang dikenal dengan kepribadiannya yang luar biasa— ditunjuk oleh forum sebagai pemimpin tunggal kota Madinah. Ini tertuang dalam manuskrip yang dikenal dengan sebutan Shahiifah Madinah (Piagam Madinah).

Mufakat itu bukannya tanpa alasan. Selama berpuluh-puluh tahun, penduduk Yatsrib dilanda perang antar dua suku besar: Aus dan Khazraj, yang hampir tak pernah menemukan titik akhir.[26] Dengan berbagai keistimewaan yang ada pada pribadinya, Muhammad saw dianggap sebagai pahlawan yang akan menyelesaikan kemelut itu. Karenanya, penduduk Madinah —yang terdiri dari beragam suku dan agama— sepakat menerima dan mengangkat Muhammad saw sebagai pemimpin sekaligus hakim bagi mereka. Di samping itu, umat Islam meyakini Muhammad sebagai Rasul yang menerima wahyu dari Tuhan.

Di sini, kita bisa melihat bagaimana dalam diri Muhammad saw terdapat —setidaknya— lima peran sosial sekaligus[27] yang terkadang saling ‘tumpang tindih’. Dalam kondisi seperti ini, terdapat sejumlah kesulitan tersendiri dalam proses mengidentifikasi tindakan Nabi menggunakan beberapa frame yang ada. Apakah suatu tindakan itu dilakukan Muhammad dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa (basyariyah,) atau sebagai utusan tuhan yang harus dipatuhi dan diikuti? Lebih susah lagi mengklasifikasikan tindakan Muhammad sebagai Rasul atau sebagai pemimpin ummat? Karena jika dilihat Muhammad sebagai Rasul, maka tindakan itu termasuk sunnah fi'ly. Dan kesalahan diagnosa bisa berakibat cukup fatal.

Madinah, bagaimanapun juga, hanyalah sekumpulan masyarakat (ummah) yang menyerahkan sebagian urusan mereka kepada pemimpin yang disepakati bersama (primus inter pares). Dalam teori politik, kita menyebutnya teori kontrak sosial[28]. Di Madinah, belum ada seperangkat alat kelengkapan pemerintahan yang rapi dan teroraganisir. Karenanya, Madinah belum layak disebut sebagai negara dan Muhammad sebagai kepala negaranya.

Bertolak dari pendapat itu, semakin banyak pula yang menyatakan bahwa Madinah sudah layak disebut sebagai sebuah ‘negara’ (dawlah) betapapun sederhananya. Pendapat ini lebih melihat bahwa tindakan Muhammad pada ‘Am ar Risalah[29] (tahun utusan) yang mengirimkan beberapa surat (diplomasi) kepada raja-raja di sekitar jazirah Arab dilakukan dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara.

Terlepas dari perdebatan itu, satu hal yang manjadi titik api adalah bahwa proses naiknya Muhammad saw sebagai pemimpin ummah di Madinah jauh dari campur tangan Tuhan melalui wahyu. Tak ada satu ayatpun yang menyatakan bahwa Tuhan telah mengangkat Muhammad saw. Tak ada satu ayat pun yang sekedar mengukuhkan jabatan pemimpin bagi Muhammad saw. Pengangkatan Muhammad saw, karenanya, murni hasil kesepakatan umat yang natiijah (hasil kesepakatan)-nya tertuang dalam Shahiifah Madiinah (Piagam Madinah) yang terkenal itu.

Nyatanya, Muhammad saw tak pernah memplokamirkan sebuah bentuk pemerintahan yang wajib diadakan dan ditaati oleh umat Islam. Bahkan, Ali Abdur Raziq menyatakan —dengan tegas— bahwa tugas Muhammad dalam memimpin masyarakat Madinah tidak ada kaitannya dengan urusan Risalah kenabian yang dia emban[30]. Dalam al Quran hanya disebutkan “Taatlah kalian kepada Allah, taat kepada Rasul, dan kepada ulul Amri” (QS an Nisa [4]: 59).

Ketaatan umat (Islam) kepada Muhammad dalam kapasitasnya sebagai Rasul pada ayat di atas tak terbantahkan. Sebagai Rasul, Muhammad saw menerima wahyu dari Tuhan dan menyampaikannya kepada umat. Umat harus mengikutinya. Ini adalah ketetapan Tuhan yang tak bisa ditawar. Apalagi, umat (Islam) meyakini akan adanya sifat ma’shum (terpelihara dari dosa dan kesalahan) pada diri Muhammad saw.

Sementara itu, yang masih menjadi polemik adalah apakah ketaatan penduduk Yhatsrib nonmuslim kepada Muhammad adalah karena Muhammad merupakan utusan Tuhan? Jika demikian, maka tentunya hal ini justru akan memperburuk keadaan lantaran isi ayat ini ‘bertentangan dan mengkhianati’ Shahiifah Madinah yang jelas-jelas mengakui dan menghargai serta membebaskan umat beragama untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing[31]. Dan ini sudah disepakati bersama.

Karenanya, ketaatan penduduk nonmuslim Yatsrib kepada Muhammad saw harus diletakkan dalam kapasitas Muhammad saw, sebagai pemimpin yang telah menerima mandat atau ulul amri (orang yang memiliki — baca: diserahi— urusan). Jadi, ayat di atas hanyalah sebatas justifikasi akan kewajiban taat kepada 'aturan' bagi orang-orang yang menyatakan terikat kepada 'aturan' yang disepakati bersama. Sekali lagi, bukan karena mendapatkan legitimasi dari Tuhan sebagai wakil Tuhan (khalifah) untuk memerintah dan memimpin manusia Madinah.

Mengenai agama Islam, hemat penulis, adalah agama sempurna. Setidaknya ini tergambar dalam ayat yang populer di kalangan umat Islam sebagai ayat yang terakhir kali turun. Tepatnya saat Muhammad berkhutbah di padang Arafah ketika haji wada’. ‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan Aku sempurnakan bagi kalian nikmatKu dan aku rela Islam menjadi agamamu[32].

Akan tetapi, kesempurnaan ini, sebagaimana tersebut dalam sebuah kalimat mutiara, Idza tamma al amru badaa naqshuhu. Ketika suatu perkara sempurna, maka akan nampak jelas kekurangannya[33]. Benar saja, sepeninggal Muhammad, umat Islam tidak lagi mendapatkan bimbingan Tuhan secara langsung melalui wahyu yang diterima Nabi. Mulai saat itu, umat harus menghadapi sendiri segala permasalahan yang dihadapinya.

Jelasnya, ‘kesempurnaan’ atau —penulis lebih sepakat dengan ‘keparipurnaan’— Islam ini berimplikasi pada stagnasi nash. Sepeninggal Nabi Muhammad, tak ada lagi nash baik alQuran maupun al Hadits yang meng-‘ada’. Padahal, realita (al waqaa’i’) terus bergerak maju. Sampai di sini, Islam harus banyak beradaptasi dan belajar pada pelbagai hal yang dijumpainya di sepanjang masa. Setidaknya menyesuaikan diri.

Suatu contoh yang cukup representatif adalah kasus penyerbukan kurma di Madinah pada masa awal Muhammad hijrah ke Madinah. Muhammad, sebagaimana kalangan sahabat Anshar dari Makah, tidak paham dunia pertanian di Madinah. Muhammad, sebagaimana penduduk lokal Madinah, ikut merawat pohon kurma. Akan tetapi, ketika musim bunga, Muhammad tidak melakukan penyerbukan —dengan mengawinkan manggar jantan ke bunga betina— pada kurma peliharaannya.

Muhammad menyatakan bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh Tuhan. Para sahabatpun mengikutinya karena menganggap ujaran Muhammad tadi merupakan wahyu yang datang dari Tuhan dan karenanya wajib diikuti. Akhirnya, hasil panen yang mereka dapatkan jauh dari harapan. Sahabatpun mengadu kepada Muhammad. Muhammadpun menjawab para sahabatnya dengan kata, “Antum a’lamu bi umuuri dun yaakum”. Kalian lebih paham urusan dunia kalian.

Dari sini, kita bisa melihat bahwa bagaimanapun juga, Nabi sebagaimana disebutkan dalam sebuah syair yang cukup terkenal di kalangan pesantren[34] juga manusia biasa. Ia tidak akan mengetahui sesuatu jika tidak mencari tahu, atau diberi tahu baik oleh para sahabatnya atau oleh Tuhan. Apalagi mengenai urusan manusia yang terjadi beribu tahun sepeninggalnya.

Demikian halnya dengan kehidupan sosial manusia. Nabi tak pernah memberikan batasan rigid dalam pergaulan manusia kecuali yang memang betul-betul urgen. Sehingga, segala hal yang berkaitan dengan kehidupan dunia diserahkan kepada umatnya karena tentunya, umat lebih tahu, mana yang maslahat dan mana yang mengandung mafsadat. Demikian halnya dengan sistem pemerintahan (asy Syaukah atau dawlah).

Dalam menentukan nasibnya, umat tak akan sendiri. Tuhan memberikan jaminan yang dinyatakan dalam sebuah hadits, “Sungguh! umatku (dalam sebuah redaksi menggunakan kata umat Muhammad) tak akan berkumpul dalam kesesatan. “Tangan” Allah swt beserta Jamaah. Barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah maka ia menjerumuskan dirinya ke dalam neraka.”. Abu Isa sebagaimana dikutip Imam Turmudhi —rowi hadits ini— menulis bahwa yang dimaksud dengan jamaah di sini adalah ahli fiqh (yurisprudensi Islam), ahli ilmu, dan ahli hadits.[35]

Hujjatul Islam al Ghazali juga sempat menyatakan bahwa hubungan antara agama dan negara bagaikan saudara kembar yang lahir dari satu ibu. Keduanya merupakan entitas utuh yang berbeda, tidak bisa disamakan. Hubungan yang terjalin keduanya adalah saling melengkapi (simbiosis mutualisme).[36]

Meski demikian, Muhammad saw meninggalkan dua perkara yang bisa dijadikan pegangan umat Islam: Al Quran dan al Hadits. Melalui keduanya, Islam memberikan dasar-dasar nilai moral universal. Ada nilai kesetiakawanan, keadilan sosial, persamaan, dan seterusnya[37]. Dengan modal ini, diharapkan umat Islam mampu mengadaptasikan —penulis lebih sepakat dengan memodifikasi— Islam dengan kondisi masyarakat yang ada. Nilai-nilai ini sedemikian lentur dan fleksibel sehingga bisa diterapkan di mana saja, kapan saja dan dalam sistem apa saja.

Pun, dalam kaidah Ushul Fiqh kita mengenal kaidah al Ashlu fi al Muamalah al Ibahah. Pada dasarnya, segala urusan muamalah (hubungan antar manusia) itu diperbolehkan. Hukum mubah ini berlaku sepanjang tidak melampaui koridor kemashlahatan bersama. Demikian halnya dengan sistem dan lembaga pemerintahan.

Jika kita menilik dari segi historisitas, beberapa tragedi telah menunjukkan kepada kita bahwa sering kali Islam dijadikan tunggangan untuk melegitimasi kekuasaan. Peristiwa ini mulai terjadi pasca wafatnya Muhammad saw. Sesaat setelah rumor wafatnya Muhammad saw tersebar, sahabat Anshar berkumpul di Balairung (saqifah) Bani Saidah. Mereka berembuk dan dengan suara bulat mengangkat Saad bin Ubadah yang sedang sakit (berselimut) sebagai pengganti Muhammad saw.[38]

Umar bin Khattab yang mendengar peristiwa ini, langsung menuju ke Saqifah dengan mengajak Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin al Jarrah. Terjadi perdebatan yang cukup alot. Kubu Anshar masih bertahan dan menyatakan bahwa yang berhak menjadi pemimpin adalah kalangan Anshar. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa Islam pertama kali berkembang ketika ada di Madinah atas bantuan mereka, shalat berjamaah secara terbuka baru dilaksanakan di Madinah bukan di Makkah dan bangsa Arab mau tunduk kepada Islam di bawah pedang Anshar.[39]

Alasan ini dibantah oleh Abu Bakar yang menyatakan bahwa yang paling berhak sebagai pemimpin adalah kalangan Muhajirin. Tameng yang dikemukakan juga tameng agama. Muhajirinlah yang mula-mula beriman dan menyembah Tuhan yang haq. Tentu sangat bertentangan manakala kita membandingkan dengan dengan piagam Madinah yang secara implisit menyatakan bahwa urusan kepemimpinan di Madinah merupakan urusan muamalah, bukan ubudiyah.

Bahkan Abu Bakar sempat menyitir sebuah hadits Nabi yang menyatakan bahwa al Aimmah min Quraysh[40]. Bahwa pemimpin harus dari kalangan Quraysh. Jika demikian, maka kalangan Anshar akan menjadi wazir[41]. Perdebatan ini, kendati menggunakan argumen agama, menurut Ibn Qutaybah lebih bernuansa politik-ekonomis.[42]

Terlepas dari kesahihan hadits yang diakui itu, sangat jelas terlihat bahwa implementasi hadits itu sangat tergesa-gesa dan terkesan leterlijk. Tentunya, sikap seperti itu tidak tepat jika kita menggunakan timbangan ayat wa syaawirhum fil amr[43]. Dan bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam “perkara”. Ayat ini, yang merupakan bagian dari alQuran seharusnya didahulukan, dengan mengakhirkan hadits yang derajadnya di bawah alQuran. Karenanya, ‘pemaksaan’ naiknya Abu Bakar Ra merupakan hasil pemerkosaan ‘kekuasaan’ atas agama.

Apalagi, Abu Bakar kembali membuka luka lama yang telah kering yakni permusuhan antara Aus dan Khazraj berhasil mendapatkan dukungan yang cukup banyak dari kaum Anshar untuk mengangkatnya sebagai khalifah. Meski demikian, pemaksaan dan ketergesaan ini tampak sangat jelas karena rapat itu dilakukan saat jenazah Nabi belum dimakamkan dan tak ada yang mengurusnya selain Ali kw, Fatimah RA dan Aisyah RA.[44]

Karenanya, rapat tersebut, kendati ada ‘wakil’ dari kaum Muhajirin meski hanya tiga orang saja: Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaydah bin al Jarrah bisa dikatakan belum memenuhi kuorum. Ada banyak pihak yang tidak sepakat dengan adanya rapat di Saqifah tersebut. Kelompok Ali sangat tersinggung dengan pengangkatan Abu Bakar. Kelompok ini hanya mengakui Ali sebagai pemimpin mereka. Mereka melandaskannya pada peristiwa Ghadir Khum.[45]

Dan pada masa Khulafaur Rasyidin, sebetulnya sudah terlihat pemilahan antara urusan negara (baca: kepemimpinan) dengan agama. Cukup wajar memang, mengingat otoritas keagamaan tidak berada di tangan khalifah yang berkuasa secara mutlak. Banyak sahabat yang ternyata memiliki pemahaman keislaman yang melebihi khalifah berkuasa, sebut saja sahabat Abu Hurayrah yang ahli Hadits, dan seterusnya.

Bermula dari peristiwa Saqifah inilah, berbagai pemerkosaan agama susulan menjadi torehan kelam dalam sejarah Islam klasik. Konstelasi politik pada masa Khulafaur Rasyidun mengakibatkan kekecewaan yang muncul di antara umat Islam. Mereka kemudian memperalat agama —dengan menggunakan dalil alQuran dan Hadits— untuk memberikan justifikasi atas kekuasaan yang hendak diraihnya atau yang dipertahakannya.

Muawiyah, gubernur Damaskus misalnya, menuntut (baca: memberontak) terhadap Imam Ali bn Abi Thalib atas terbunuhnya khalifah Utsman bn Affan RA. Dalam keadaan yang terdesak pada perang Siffin, pihak Muawiyah —demi mendapatkan kekuasaan— rela menunggangi dan memperkosa agama. Ini diwujudkan dengan siasat yang dilancarkan oleh Amr bin Ash dengan mengangkat Mushhaf yang tertancap di ujung tombak.

Berhasil. Muawiyah naik menjadi raja umat Islam dan berkuasa di Damaskus. Kekecewaan demi kekecewaan muncul ke permukaan. Dimulai dari kaum Khawarij. Lagi-lagi, Khawarij menggunakan agama —slogannya laa hukma illa lillaah, tak ada hukum kecuali hukum Allah— untuk mendapatkan kekuasaan. Nyatanya, mereka berusaha membunuh para tokoh yang turut serta dalam tahkim (arbritase) di Daumatul Jandal termasuk Imam Ali kw dan Muawiyah RA.

Kondisi yang tak jauh berbeda juga terjadi di kubu Imam Ali kw. Syi'ah —yang terdiri dari puluhan mazhab— menyatakan bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali kw. Salah satu hal yang cukup kontroversial adalah di antara mereka ada yang memaknai bahwa yang dikehendaki oleh Tuhan dengan fawatihus suwar (penggalan-penggalan huruf hija'iyah pada permulaan surat) adalah ungkapan Shiraatu ‘Aliy haqqun numsikuhuu (jalan yang ditempuh Ali adalah Haq, kita memeganginya).[46] Hal ini mendapatkan tentangan dari ulama Sunny. Bagi golongan yang tersebut terakhir ini, yang dikehendaki Tuhan dari huruf-huruf tersebut adalah Shohha thariquka ma assunnah, telah sahih jalanmu bersama sunnah.

Kasus pemerkosaan yang cukup tragis adalah pembantaian Husein bin Ali RA beserta sekitar 70 keluarganya di padang Karbala[47] yang dilakukan oleh tentara Yazid bin Muawiyah. Akibatnya, terjadi kegoncangan yang luar biasa dalam umat Islam. Karena bagaimanapun juga, Husein RA adalah cucu Nabi SAW yang sangat dicintai oleh semua umat Islam. Bahkan, oleh sebagian besar umat Islam, Husein RA diyakini telah mendapatkan jaminan masuk surga.

Untuk menanggulanginya, Mu'awiyah sebagai khalifah merestui faham Jabariyah. Paham ini menilai bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Tuhan. Manusia tak bisa berbuat apa-apa karena dalam keadaan ijbar (terpaksa). Melalui paham ini, Muawiyah hendak menanamkan pemahaman di umat Islam bahwa peristiwa pembantaian tersebut telah digariskan oleh Tuhan. Manusia tak bisa melakukan apapun untuk mencegahnya. Secara khusus, hal ini ditujukan agar umat Islam tak berontak. Sekali lagi, teks agama dijadikan tameng bagi kejahatan demi kekuasaan.

Tak hanya itu, rezim Mu’awiyah sempat pula mengklaim bahwa penolakan atas kewajiban taat kepada khalifah atau wakilnya merupakan penolakan atas pengakuan terhadap Tuhan. Artinya, mereka yang memberontak terhadap khalifah dihukumi kafir.[48] Dan demi melekatkan citra buruk, Mu'awiyah mewajibkan para khatib untuk mencela dan melaknat Imam Ali kw beserta pengikutnya di setiap khutbah Jumat.

Sebagai counter atas paham Jabariyah muncullah paham Qadariyah yang menyatakan bahwa manusia memiliki free will (kehendak bebas). Hal ini ditujukan untuk menekan pemerintah Mu’awiyah. Diharapkan umat akan berpikir bahwa kejadian di Karbala sebetulnya bisa dicegah oleh manusia dan karenanya tidak perlu terjadi.

Hampir bisa dipastikan bahwa perpecahan —ditandai dengan munculnya sekte keagamaan— dalam Islam terjadi lantaran ada konstalasi politik yang ada di dalamnya. Dalam hal ini, William Montgomery Watt, dalam The Formative period of Islamic Thought[49]berhasil memotret kemunculan sekte-sekte Islam tersebut dalam bingkai politik praktis. Namun, Watt hanya memperpanjangkan tulisannya mengenai sisi historisitas.

Dari uraian di atas, perlu kiranya kita membandingkan apa yang terjadi di dunia Islam dengan apa yang terjadi di Barat. Pada abad pertengahan, otoritas gereja di Barat menguat. Gereja ingin menguasai segala bidang, termasuk politik. Imbasnya, Agama ternoda karena dosa para pendetanya yang ingin memperoleh kekuasaan dan kekayaan. Sementara itu, sejarah Islam memang tidak ada pemegang otoritas keagamaan semacam gereja dan tak pernah terjadi 'agama' menguasai negara. Namun, pemerkosaan agama demi kekuasaan sungguh tak dapat ditolerir.

Adalah hal yang wajar jika teks-teks (ke)agama(an) itu bagai sebuah bola liar. Sangat mungkin untuk bisa dikendalikan dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan pragmatis. Ini sangat berbahaya tentunya. Karena itu, bola tersebut harus dikembalikan kepada pelukan sang keeper. Artinya, pemisahan mana ruang agama dan mana ruang ‘dunia’ merupakan kebutuhan yang mendesak dan tak bisa ditawar lagi.

Akan tetapi, pemisahan ini bukanlah pemisahan yang dikhotomis. Mengapa? Karena Islam bukanlah agama an sich. Banyak teks baik al Quran maupun al Hadits yang juga sempat menginggung masalah sosial, politik dan seterusnya. Akan tetapi, mengutip kesimpulan Khalil Abdul Karim, tindakan Nabi, dengan tidak meninggalkan pesan yang menunjuk siapa penggantinya sebagai pemimpin masyarakat, sudah jelas[50]. Bahwa itu merupakan urusan masyarakat (publik) yang bisa diselesaikan dengan baik tanpa memperalat agama.

Sekiranya, di sini perlu dikutip ungkapan Imam Ali KW “Dunia, kekuasaan, negara bisa berdiri tegak dengan Keadilan meskipun ma ‘al kufri (dalam kekuasaan orang kafir). Sebaliknya, negara akan hancur dengan Kedzaliman meskipun ma ‘al muslimin (berada di tangan orang Islam). Ibn Taymiyah juga sempat menyatakan bahwa Allah akan menegakkan negara yang adil meski (negara) kafir dan Allah akan menghancurkan negara yang zalim meskipun (negara) muslim.[51]

***Penulis adalah Gubraker sekaligus editor Penerbit Jalasutra



Catatan kaki :

[1] Lihat Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, UII Press, Jogjakara, 1999 hlm. Bandingkan dengan Bisyri Effendi,

[2] al Mawardi, al Ahkam as Sulthaniyah wa al Wilayaat ad Diiniyah, Dar el Fikr, Beirut, hlm.

[3] Lihat Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 5, Mizan, Bandung, 2001, hlm. 131.

[4] Ini adalah ungkapan Taha Husein dalam al Mustaqbal al Tsaqafah fi Mishr. Dar alMaarif, Kairo, tt hlm. 16. Ungkapan itu dikutip dari Dr. Yusuf al Qardhawi sempat mengutipnya dalam Min Fiqhid Dawlah Fil Islam, terj. Fiqh Daulah dalam perspektif alQuran dan Sunnah, penerj. Kathur Suhardi, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 1998, hlm. 83

[5] Buku yang paling kontroversial karya Taha Husein adalah al Mustaqbal al Tsaqafah fi Mishr. Dengan keahliannnya di bidang sejarah, sosial, dan etnografi, ia menyatakan bahwa Mesir bukanlah Arab, tetapi bagian dari Barat. Di samping itu, ia menjadi sangat popular karena mencetuskan generasi baru sastra Arab. Artikelnya yang berjudul “al Hayat al Adabiyah fi Jazirah al Arab” di majalah al Hilal edisi Maret 1933 menyebabkan ia begitu dihormati. Lihat editorial Majalah al Haj wa Umra, volume 60, edisi Maret 2005.

[6] Secara khusus, Ali Abdur Raziq menulis buku Al Islam Wa Ushulul Hukm, al Mishr, Kairo, 1925.

[7] Muhammad al Fayyadl, Derrida, LKiS, Jogjakarta, 2005, hlm. 31

[8] ‘Melihat’ dengan ‘memandang’ merupakan dua kata yang bisa disubstitusikan begitu saja. Meski demikian, kata ‘memandang’ memiliki rasa yang tidak dimiliki o leh kata melihat. Demikian juga sebaliknya.

[9] Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern jilid 5, Mizan, Bandung, 2001, hlm. 129

[10] Dr. Ali Lagha, Madkhal ila al Uluum as Siyaasah, Dirasah Muqaranah bayn an Nizaam al Islamiy wa wal Andzimah al Gharbiyah, Dar al Mahrus, Beirut, 1994, hlm. 137

[11] D. Ruuhi al Ba’labaki, al Mawrid Qamus Araby Injilizy, Dar el Ilm li al Malayin, Beirut, 2003, hlm. 778

[12] Makalah di www.isamlib.com

[13] Dr. Ali Lagha, op.cit. hlm. 138

[14] Ahmad Baso, dalam Jurnal Taswirul Afkar

[15] Dalam kajian al Jabiri, sekularisme yang dipahami oleh al Busthani sebagai “pemisahan agama dari negara (fashlu diin an ad dawlah)” tidak bisa diterapkan di dunia Arab. Itu hanya cocok untuk Eropa. Dunia Arab berbeda dengan Eropa. Demikian halnya dengan ungkapan Islam din wa dawlah, juga salah kaprah. Bagi al Jabiry, hal ini merupakan suatu kemustahilan. Karena Arab dan Islam adalah dua entitas yang dalam sejarahnya tak pernah dipisah. Akan tetapi, al Jabiri menawarkan sekularisme dalam arti fasshl ad diin an as Siyasah. Yakni, pemisahan agama dari urusan politik praktis. Lebih lanjut, silahkan baca artikel M. Kholidul Adib, SHI “’Sekularisme’ dalam Wacana Kritik Nalar Politik Arab” dalam Jurnal Justisia edisi yang anda pegang ini.

[16] Ada sebagian kalangan yang menyatakan bahwa latar belakang peluncuran buku ini adalah karena penguasa Mesir Fuad yang demi mendapatkan dukungan masyarakat, berniat akan mengenakan gelar khalifah. Ali Abdur Raziq tidak suka dengan hal ini dan berusaha menyangkalnya. Karenanya, Abd Raziq menyatakan bahwa masalah kepemimpinan, seperti lembaga khalifah terlepas dari tugas Muhammad sebagai Rasulullah.

Lagi pula, mana mungkin penerbit Mishr yang masih dikuasai dan berhaluan konservatif (diawasi oleh Muhammad Thal’ab Harb) mau menerbitkan buku yang —bagi sebagian besar umat Islam— dianggap akan merusak ajaran Islam dari dalam?. Lihat Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, jilid 5 hlm. 7

[17] Ali Abdur Raziq, al Islam wa Ushul al Hukm, terj.

[18] Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Raja Grafindo Press, Jakarta, 1993, hlm. 304

[19] Suyuti Pulungan, opcit. hlm. 295

[20] M. Yusuf Wijaya, “Visi-visi Pemikiran Keislaman: Upaya Klasifikasi Pemikiran Keislaman Timur Tengah”, dalam M. Aunul Abid Syah, (ed), Islam Garda Depan, Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Mizan, Bandung, 2001. hlm. 45-52

[21] Ensiklopedi Oxford Dunia Muslim Modern, jilid 5, Mizan, Bandung, 2001, hlm. 129

[22] Ali Lagha menuliskan “As Sohiih li l-ilmaniyah : Iqamat al-hayat ‘ala ghairi ad-Diin”. “Sejatinya, sekularisme adalah menciptakan kehidupan yang tidak berlandaskan pada agama”. Tampaknya pandangan ini menarik sebuah benang merah antara Sekularisme dan Atheisme. Bahwa Sekularisme merupakan kepanjangan tangan dari Atheisme. Meski demikian, ini masih debateble. Yang pasti, Sekularisme (masih) mengakui eksistensi agama. Hanya saja, lahan garapannya berbeda. Baca. Dr. Ali Lagha, opcit, hlm. 138.

[23] ibid

[24] Karen Armstrong, Islam, The Short History, terj. Islam, Sejarah Singkat,

[25] Hal ini sangat kentara pada Syair yang hingga saat ini masih sangat terkenal. Thala al badru alayna- ma da a lillahi daa’….. dan seterusnya

[26] Karen Armstrong, Islam, The Short History, terj. Islam, Sejarah Singkat,

[27] Sebagai manusia biasa, pemimpin masyarakat, hakim, kepala keluarga dan sebagai utusan Tuhan

[28] Budiono, Dasar-Dasar Ilmu Tatanegara, Bandung; Erlangga 2003, hlm. 7

[29]Am Risalah terjadi pada tahun ke- setelah umat Islam menyetujui perjanjian Aqabah untuk tidak berhaji ke Makah pada tahun itu. Dalam kesepakatan itu, antara umat Islam dan Quraysh diadakan gencatan senjata selama 10 tahun. Masa ini dimanfaatkan oleh Muhammad saw untuk melakukan konsolidasi dengan mengajak para penguasa di sekeliling Madinah untuk turut serta ke dalam persekutuan Muhammad di Madinah. Lihat

[30] Ali abdur Raziq, al Islam wa ushul al Hukm,

[31] Dalam teks disebutkan bahwa “…..Orang-orang Yahudi tetap berpegang pada agama mereka, dan orang mukmin tetap berpegang pada agama mereka….” Petikan ini dinukil dari naskah Ibn Hisyam, dalam Sirah Nabawiyah, jilid 1, yang diterjemahkan Suyuti Pulungan dalam Fiqh Siyasah, opcit, hlm. 83.

[32] Al yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matiy wa rodhiitu lakumul islaama diinaa (QS al Maidah [5]; 3)

[33] Abu Bakar langsung menangis tatkala ayat ini turun. Ia merasakan bahwa Rasul sebentar lagi akan meninggalkan umat yang masih butuh akan bimbingan dan arahan Tuhan melalui Rasul.

[34] Muhamadun Basyar laa kal Basyari, bal Huwa ka al Yaquuti bayna al Hajari. Muhammad adalah manusia biasa, Tapi tidak seperti lazimnya manusia, ia laiknya yaqut, permata di antara bebatuan.

[35] Kendati ‘hanya’ diriwayatkan oleh Imam Turmudzi RA. dalam bab “Maa ja a fi luzumi jamaah” (hadits tentang kewajiban bersama jamaah) Hadits ini dinilai sahih marfu’, sampai kepada Nabi melalui riwayat sahabat Ibn Umar.

[36] Jika memang yang dikehendaki oleh al Ghazali demikian, maka setidaknya pemahaman ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Jose Casanova yang menyatakan bahwa meski sistem yang berlaku adalah sistem sekular, pada saat tertentu, negara atau politik butuh peran agama, demikian juga sebaliknya. Lebih jelas baca Jose Casanova, Agama Publik nalar sekular ,

Akan tetapi, hingga tulisan ini diturunkan, penulis belum berhasil menemukan sumber primer ungkapan al Ghazali tersebut. Hanya saja, sumber sekunder terdapat dalam Nur Mufid dan A. Nur Fuad, Bedah al Ahkamus Sulthaniyah alMawardi. Mencermati Konsep Kelembagaan Politik Era Abbasiyah, Surabaya, Pustaka Progresif, 2000, hlm. xii.

[37] Nilai-nilai ini ternyata lebih banyak terdapat pada nash-nash yang turun pada masa Makkah. Berbeda dengan nash pada masa Madinah yang cenderung bernada diskriminatif. Baca Abdullah Ahmad an Naim, Toward in Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, and International Law, terj Dekonstruksi Syari’ah, Wacana Kebebasan Sipil, HAM, dan hubungan internasional dalam Islam, Cetakan IV, LKiS, Jogjakarta, 2004, hlm. 24. Bandingkan tesis Mahmud Muhammad Taha yang membagi periodesasi Islam ke dalam dua bagian, Makkah dan Madinah. Lihat Mahmud Muhammad Taha, ar Risalah ats Tsaniyah min al Islam, terj. Arus Balik Syariah, LKiS, Jogjakarta, 2003, hlm. 7

[38] Abdur Rahman bn Ali bn Muhammad bn al Jawzy, al Muntadzam fi Tarikh al Muluuk wa al Umam, Beirut, Dar el Kotob el Ilmiyyah, tt, hlm. 64

[39] Ungkapan 'di bawah pedang Anshar' terkesan sangat emosional. Dari sini kita bisa melihat bahwa ada ambisi yang cukup kuat dari kalangan anshar untuk bisa merebut tampuk kepemimpinan di Madinah dari tangan kaum Muhajirin. Abdullah bin Muslim bin Qutaybah, al Imamah wa Siyasah au Tarikh Khulafa’, Beirut, Dar el Adhwa’ 1990, jilild 1 hlm. 21.

[40] Dalam Mu’jam al Mufharas li Alfadzi al Hadits an Nabawi ditemukan bahwa hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam musnadnya, Imam Ahmad menurunkan hadits ini sebanyak tiga kali. Keduanya diriwayatkan melalui jalur sahabat Anas bin Malik. Dan yang satunya lagi diriwayatkan melaui sahabat Barzah. Lebih lengkapnya hadits tersebut menyatakan bahwa pada suatu waktu Nabi berdiri di pintu rumah dan kami ada di situ. Nabi bersabda Pemimpin itu dari kalangan Quraysh, ketika………………. Lihat Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Beirut, Dar el Fikr, 1990, jilid 1 hlm. Lihat juga buku tersebut jilid 4 hlm.

Kendati sanadnya muttashil (sambung kepada Nabi) masih ada masalah pada matan hadits tersebut. Anas bin Malik menyebutkan bahwa ketika Nabi bersabda, ada banyak sahabat yang hadir, ini diindikasikan dari ungkapan Anas “wa nahnu fiihi (dan kami ada di situ)” kata nahnu (kami) menunjukkan makna plural, mutakalim maa al-ghair, ada pihak lain dalam suatu majelis selain pembicara yang dalam konteks hadits ini adalah para sahabat. Namun, mengapa hanya ada dua sahabat yang meriwayatkannya, yakni Anas sendiri dan Abu Barzah. Lagi pula, mengapa hanya Imam Ahmad yang memasukkan hadits ini dalam kompilasinya?

[41] Kisah ini diceritakan oleh Aisyah RA, istri Nabi. Imam Bukhari mencatatnya dalam Sahih Bukhari, Kitab “Manaqib”, Bab “Qaulu Nabi Law Kuntu Muttakhizan Khaliilan” hadits ke-3394. Hadits tentang Saqifah juga diriwayatkan oleh beberapa penulis kompilasi hadits lainnya. Hanya saja, penulis mencukupkan pada satu riwayat yang dinilai sahih sanadnya.

[42] Ibn Qutaybah, ibid, hlm. 24-25

[43] Dan bermusyawarahlah kalian dalam perkara. QS

[44] Mahmoud M. Ayyoub, The Crisis of Muslim History, terj. Mizan, bandung, 2004, hlm. 44

[45] Ketika haji wada’ Nabi dan beberapa sahabat beristirahat di lembah Ghadir Khum. Muhammad saw berhadapan dengan Ali bn Abi Thalib dan menyatakan bahwa barang siapa yang mengakui Aku sebagai pemimpinya, maka Ali juga junjungannya. Lebih lanjut mengenai Ghadir Khum versi Syiah silahkan baca Abdul Husein Ahmad Al Amini, al Ghadir fi al Kaitab wa al Sunnah wa al Adab, jilid 1-2. Beirut, Dar el Kitab el Araby, 1977. Dan mengenai keutamaan Ali sehingga ia berhak menyandang predikat khalifah disebutkan secara jelas dalam sebuah buku yang cukup terkenal di kalangan pesantren, Ibn Abdul Hamid, Syarh Nahjul Balaghah, jilid 2, Beirut, Dar el Fikr.

[46] Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddiqi, Ilmu-ilmu al Qur’an, Cetakan kedua, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2002, hlm. 129

[47] Pembantaian ini terjadi pada tanggal sepuluh Muharam yang biasa disebut dengan hari Asyura. Orang Arab menyebut padang pasir tempat pembantaian itu sebagai Karbala. Kata karbala berasal dari kata كرب (duka) dan kata بلاء (nestapa). Demi mengubur dosa ini, pemerintah Mu'awiyah menciptakan hadits yang menyatakan sunnahnya puasa Assuyra. Dalam pandangan Jalaludin Rahmat, tidak sepantasnya kesedihan dirayakan dengan puasa. Lihat…

[48] William Montgomery Watt, The Formative period of Islamic Thought, terj. Studi Islam Klasik, Wacana Kritik Sejarah, penerj. Sukoyo, dkk. Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999, hlm. 111

[49] William Montgomery Watt, ibid, hlm. ix

[50] Khalil Abdul Karim, al Judzul at Tarikhiyah li asy Syariah al Islamiyah, terj. Syariah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, Yogyakarta, LKiS, hlm. 113.

[51] Dikutip dari HMA Sahal Mahfudz, ketika memberikan pengantar pada buku Ahkamul Fuqaha’ Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Lajnah Ta’lif wa Nasyr NU Jawa Timur dan Diantama, Surabaya, 2005 hlm. xvi